Presiden Joko Widodo menolak usulan Gubernur Anies Baswedan agar DKI Jakarta dikarantina alias lockdown untuk menghentikan laju penyebaran wabah virus corona. Seolah ingin mengukuhkan kewenangannya, pemerintah pusat malahan merencanakan satu solusi lain: darurat sipil.
Imbauan pemerintah agar masyarakat menjaga jarak dan tetap di rumah demi mencegah penularan Covid-19 dirasa tak efektif. Belasan ribu orang perantau di Jakarta mudik lebih dini dari Ibu Kota ke daerah-daerah di Jawa telah meningkatkan risiko kejangkitan dan mengacaukan upaya memutus rantai penularan.
Baca Juga: DPD Teriakkan Darurat Sipil Berlebihan: Gunakan Anggaran Ibu Kota Atasi Corona!
Anjuran belaka tak akan didengar. Pemerintah merasa perlu membuat aturan yang lebih tegas dan kuat untuk mencegah pergerakan orang, di antaranya pembatasan sosial berskala besar. Kalau perlu juga diperkuat lagi dengan kebijakan darurat sipil. Kebijakan itu semacam senjata pamungkas, sebagaimana ditulis Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman, "Hanya jika keadaan sangat memburuk dapat menuju Darurat Sipil."
Kenapa harus darurat sipil?
Jokowi sedari awal sudah memancangkan tekad untuk tidak memberlakukan lockdown atau karantina wilayah atau apa pun istilahnya. Dia bahkan menegaskan, sesuai amanat undang-undang, lockdown atau tidak adalah sepenuhnya kewenangan presiden, bukan pemerintah daerah.
Risiko lockdown tidak kecil meski kemungkinannya lebih buruk jika tidak ada kebijakan yang tegas serupa itu: wabah corona akan makin tak terkendali dan korban terus berjatuhan. Namun, lockdown juga bukan satu-satunya solusi yang sudah teruji jitu diterapkan di semua wilayah/negara.
Lockdown di Italia, Prancis, Denmark, dan belakangan India, malah menimbulkan bencana baru, alih-alih membereskan masalah ala sapu jagat. "Pemerintah tidak mengikuti apa yang telah dilakukan sejumlah negara yang ternyata juga tidak efektif dalam mengambil kebijakan dan justru menimbulkan dampak baru," kata Doni Monardo, Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Karena alasan itulah, pemerintah tak mau ceroboh dan terjebak dalam kekacauan. Disusunlah skema pengendalian, yakni menggunakan Undang-Undang tentang Bencana, Undang-Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Penetapan Keadaan Bahaya. Dalam undang-undang yang terakhir terletak serangkaian peraturan yang? memberikan kewenangan kepada presiden untuk menetapkan status darurat sipil, darurat militer, dan darurat perang.
Di undang-undang yang diterbitkan tahun 1959 oleh presiden Soekarno itu ditegaskan bahwa penguasa keadaan darurat sipil adalah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang selaku penguasa Darurat Sipil Pusat. Presiden dapat mengumumkan darurat sipil kalau terjadi situasi-situasi amat genting, sebagaimana disebut dalam Pasal 1, "? sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa" atau ?"ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara."
Masalahnya, penetapan darurat sipil sebagaimana disebut dalam Perppu itu kalau situasinya karena "kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam", sedangkan wabah Covid-19 terkategori bencana nonalam. Hukuman atas pelanggaran status Darurat Sipil dalam Perppu itu juga tergolong ringan, yakni pidana penjara selama sembilan bulan atau denda Rp20.000. Bandingkan dengan ancaman hukuman atas pelanggaran serupa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan, yakni pidana penjara selama satu tahun atau denda Rp100 juta.
Lari dari tanggung jawab
Rencana itu segera menuai badai kritik karena dianggap akan mengindarkan pemerintah dari tanggung jawab terhadap warga negaranya. Sebab, jika Darurat Sipil diberlakukan, pemerintah tidak bertanggung jawab atas kebutuhan dasar masyarakat.
Berbeda dengan peraturan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan yang disebutkan dengan terang, "selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat."
Penerapan Darurat Sipil, menurut anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay, juga bertentangan dengan asas hukum lex specialis derogat legi generalis, yakni hukum yang khusus dapat mengenyampingkan hukum yang umum. Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan lebih khusus membahas tentang kesehatan dan lebih sesuai dengan bencana yang dihadapi sekarang dibandingkan dengan Perppu Penetapan Keadaan Bahaya.
Jokowi memutuskan menerapkan pembatasan sosial berskala besar. Artinya, yang menetapkan status kedaruratan kesehatan masyarakat ialah Menteri Kesehatan dan berkoordinasi dengan Kepala Gugus Tugas Penanganan Covid-19 serta kepala daerah. Jadi, bukan ditentukan oleh presiden, sebagaimana kalau berlaku Darurat Sipil.
Namun, pilihan Darurat Sipil bukan berarti sama sekali diabaikan. Pemerintah bisa saja memberlakukan kebijakan itu kalau, misalnya, pembatasan sosial berskala besar dan bahkan karantina wilayah tetap tak efektif menghentikan laju penularan corona. "Darurat sipil kami siapkan apabila terjadi keadaan yang abnormal," kata Jokowi, "sehingga perangkat itu juga harus disiapkan."
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: