Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Berkaca pada Italia, PAN: Jangan Birokratis di Tengah Ancaman Wabah!

        Berkaca pada Italia, PAN: Jangan Birokratis di Tengah Ancaman Wabah! Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Berbelitnya proses tes massal dan pemeriksaan virus corona atau Covid-19 dianggap menjadi kendala dalam upaya memutus wabah virus mematikan ini secara cepat. Jika kondisi ini terus dibiarkan, perekonomian pun sulit untuk kembali berjalan.

        Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional, Dradjad H. Wibowo, mengatakan perlu dilihat titik-titik lemah dalam upaya pemerintah memutus rantai penyebaran. Saat ini, memang menggunakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan baru Jakarta yang diizinkan oleh pemerintah pusat. Namun, kata Dradjad, tidak ada yang bisa memastikan berapa sebenarnya yang positif Covid-19 di Ibu Kota ini. Sementara, tes yang dilakukan terbilang minim.

        Baca Juga: Satu Hari Jelang Penerapan PSBB, Jakarta Mulai Sepi

        "Kita tidak tahu dengan pasti berapa sebenarnya jumlah kasus positif corona di Jakarta dan Indonesia. Dengan sangat minimnya jumlah tes, tentu ada sejumlah kasus yang tidak terdeteksi, entah berapa jumlahnya," kata Dradjad belum lama ini.

        Titik lemah lainnya adalah aktivitas warga yang masih terlalu tinggi. Di Jakarta pun demikian, apalagi di daerah-daerah lainnya. Maka tanpa tahu berapa yang positif, siapa yang terjangkit sementara aktivitas masyarakat masih tinggi, dia mempersoalkan bagaimana cara memontong jalur penularannya.

        Beberapa kepala daerah seperti Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil juga sudah mengeluhkan tes yang terlalu sedikit dan sangat lambat. Dradjad yang juga ekonom INDEF ini menekankan persoalan ini tentu sangat berpengaruh pada perekonomian. Dampaknya, kata dia, sangat besar dan menjadi pintu apakah wabah ini akan terkendali atau justru meledak.

        "Jika program tes berhasil, diikuti disiplin masyarakat dan pelayanan kesehatan yang bagus, wabah berpeluang dikendalikan. Aktivitas ekonomi dan bisnis bisa berputar kembali. Jika wabah meledak, lihat saja bagaimana Lombardia Italia," katanya.

        Sudah banyak korban yang berjatuhan. Mulai dari dokter, perawat, pengusaha, hingga akademisi unggul yang dimiliki Indonesia akibat Covid-19 ini. Sayangnya, lanjut Dradjad, prosedur pemeriksaan Covid-19 yang sangat berbelit-belit.

        Awalnya, pemeriksaan spesimen dan memutuskan apakah positif atau negatif Covid-19 hanya bisa dilakukan oleh Balitbangkes bersama Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan. Itu berdasarkan Kepmenkes No. HK.01.07/Menkes/182/2020 tanggal 16 Maret 2020.

        Sementara, pengujiannya pun sangat panjang. Apalagi jika dari RS non-rujukan atau dari puskesmas, butuh waktu yang sangat lama. Menurutnya, justru penanganan model seperti ini sangat sentralistis dan birokratis.

        "Belum lagi, Kepmenkes di poin 8 mengatur, seluruh pembiayaan pemeriksaan dibebankan ke DIPA masing-masing laboratorium. Lha anggaran mereka cekak, biaya tes mahal, lalu mereka bisa ngetes berapa banyak dan berapa cepat?" katanya.

        Ada upaya baru yang dilakukan oleh Kementerian BUMN dengan mendatangkan 18 unit Roche LightCycler dan 2 MagNa Pure LC. Keduanya alat RT-PCR (reverse transcription polymerase chain reaction) yang berstandar dunia. Alat-alat ini disebar ke RS BUMN di berbagai provinsi.

        "Langkah di atas patut diapresiasi. Tapi jika spesimennya dan keputusannya terhambat birokrasi, alat di atas kurang maksimal perannya," katanya mengingatkan.

        Untuk mempercepat dalam situasi sekarang ini, Dradjad melihat pemerintah perlu mempertibangkan untuk memotong jalur birokrasi yang berbelit, yang menghambat kecepatan dalam menanggulangi wabah yang sudah menyebar ke-34 provinsi ini.

        "Karena itu, potong birokrasi tes RT-PCR Covid-19 ini. Jika perlu, lakukan desentralisasi pemeriksaan. Beri pemerintah daerah anggaran Covid-19 yang cukup. Jangan beban PSBB ditimpakan ke daerah, tapi anggaran Covid-19 tersentralisasi," katanya.

        Yang dilakukan oleh pemerintah pusat melalui Kemenkes adalah melakukan pengontrolan. Yakni mengontrol kualitas pemeriksaan yang dilakukan tiap-tiap daerah.

        "Jangan birokratis di tengah ancaman wabah," katanya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Puri Mei Setyaningrum

        Bagikan Artikel: