Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        DPR Usul Cetak Uang Rp600 Triliun, Ekonom: Jangan Mau BI

        DPR Usul Cetak Uang Rp600 Triliun, Ekonom: Jangan Mau BI Kredit Foto: Antara/Puspa Perwitasari
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan kepada Bank Indonesia untuk mencetak uang sebesar Rp400-600 triliun guna menyelamatkan perekonomian Indonesia di tengah pandemi virus corona.

        Terkait usulan tersebut ekonom Bank Permata Josua Pardede mengingatkan Bank Indonesia sederet risiko yang akan timbul jika bank sentral nekat mencetak uang lebih banyak dari biasanya. Salah satu dampak tersebut ialah inflasi. Peraderan uang yang tinggi namun tidak dibarengi pasokan produksi bisa membuat harga barang melonjak dan daya beli turun.

        Baca Juga: Soal Cetak Uang Rp600 Triliun, CORE: Bisa Inflasi, Tapi...

        Josua yakin produk barang bakal berkurang karena harga tinggi. Efek dominonya, perusahaan bisa mengurangi jumlah tenaga kerja. Dampak lainnya, perekonomian merosot dan investasi tidak lagi menggairahkan. Jika BI mencetak uang dengan langkah yang tidak cermat maka stabilitas rupiah akan terganggu. 

        "BI juga menghindari kondisi seperti kejadian BLBI banyak penyelewengan. Kita harus banyak belajar dari pengalaman. Langkah BI saat ini sudah tepat dengan tidak mencetak uang," kata Josua di Jakarta, belum lama ini. 

        Hal senada disampaikan oleh ekonom senior Rizal Ramli yang mengingatkan dampak buruk bagi perekonomian Tanah Air apabila cetak uang benar dilakukan.

        "Amerika dan Jepang misalnya, mereka kuat secara ekonomi, jadi sah-sah saja mau melakukan macro pumping. Kalau kita (RI) mau ikut gaya yang sama: jangan mimpi! Ini bisa jadi sumber bancakan baru seperti yang pernah terjadi, yakni Skandal BLBI, di mana saat itu recovery hanya sebesar 25%. Kalau begitu nanti siapa yang mau tanggung jawab?" cuit Rizal dalam akun Twitter @RamliRizal.

        Meski demikian, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memastikan pihaknya tidak akan mencetak uang tambahan untuk menambah dana maupun likuiditas perbankan atau menambal defisit anggaran pemerintah. Pertimbangannya, ia tidak ingin mengulang kasus BLBI yang menyebabkan inflasi hingga 67 persen. 

        "Salah satunya, BLBI kan bank sentral mengedarkan uang, penggantinya dikasih surat utang pemerintah. Surat utang pemerintahnya tidak kredibel, tidak kredibel karena suku bunga mendekati nol. Kemudian inflasi naik, bank sentral tidak menyerap surat utang pemerintah, likuiditas. Di tahun 98-99 inflasinya 67 persen, itu yang disebut pencetakan uang," kenang Perry. 

        Dalam hal ini, BI lebih memilih melakukan kebijakan moneter lain demi menambah likuiditas. Seperti menurunkan giro wajib minimum (GWM) hingga membeli SBN di pasar sekunder. Perluasan operasi moneter juga dilakukan demi menambah likuiditas. 

        Selama Januari hingga April 2020, BI telah menggelontorkan Rp503,8 triliun melalui langkah quantitative easing guna mencukupi ketersediaan likuiditas perbankan di tengah pelamahan ekonomi akibat pandemi corona.

        "Beda dengan yang kita lakukan sekarang. Operasi moneter dalam mengelola likuiditas di perbankan supaya cukup. Itu yang kami sebut dengan quantitative easing," pungkas Perry.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Cahyo Prayogo

        Bagikan Artikel: