Insiden Tewasnya George Floyd Membakar Semangat Negara-negara Lain buat Serang Balik Trump
Para pengunjuk rasa dibubarkan oleh polisi dengan gas air mata, demonstrasi di seluruh negeri yang menentang jam malam, dan seorang presiden yang mengancam akan mengerahkan tentara di jalan-jalan.
Kekacauan sipil di Amerika Serikat yang dipicu oleh kematian warga Amerika keturunan Afrika bernama George Floyd telah menggantikan virus corona sebagai tajuk utama di berbagai media di seluruh dunia.
Baca Juga: Didakwa Pembunuhan Tingkat 2, Eks Polisi Penginjak George Floyd Diancam 40 Tahun Penjara
Bagi negara-negara yang menjadi sasaran kritik AS karena dianggap melanggar hak-hak demokrasi, kematian George Floyd memberikan peluang untuk membalikkan keadaan di Washington. Berikut adalah bagaimana media di Cina, Iran, Rusia dan Turki meliput protes di AS.
China
Surat kabar pemerintah China, Global Times, membandingkan respons AS terhadap protes atas kematian George Floyd dengan dukungan Washington sebelumnya kepada para pemrotes Hong Kong, mengingatkan para pembaca bahwa para politisi AS menggambarkan demo di Hong Kong sebagai "pemandangan indah" demokrasi.
Pemimpin redaksi harian tersebut, Hu Xijin menulis, "Kekacauan di Hong Kong yang berlangsung lebih dari setahun dan tidak ada tentara dikerahkan. Tapi baru tiga hari terjadi kekacauan di Minnesota, Trump secara terbuka mengancam penggunaan senjata api dan menyiratkan akan mengerahkan pasukan militer."
Situs surat kabar itu telah mengunggah tangkapan layar dari pesan-pesan di Twitter --konon berasal dari "perusuh" anonim Hong Kong-- menawarkan pengunjuk rasa AS "tutorial online" tentang pengaturan penghalang jalan dan menghindari polisi. Twitter diblokir di daratan Cina.
"Tampaknya AS mendorong protes di Hong Kong dan bagian dunia lainnya," tulis surat kabar tersebut,"ayam-ayam [pengunjuk rasa] itu telah pulang untuk bertengger di AS."
AS sebelumnya sangat kritis akan perlakuan China terhadap Hong Kong, setelah gelombang demonstrasi pro-demokrasi terjadi sejak 2014.
Baru-baru ini, terjadi demonstrasi di teritori oti setelah Beijing berencana untuk memberlakukan rancangan undang-undang keamanan baru terhadap wilayah itu, memicu kekhawatiran bahwa penduduk Hong Kong akan kehilangan kebebasan mereka.
AS mendukung penuh para pengunjuk rasa ini, yang oleh pemerintah China disebut sebagai 'pengacau', dan mendesak pemerintah China menghormati hak mereka untuk didengar.
Demonstrasi atas kematian George Floyd menyebar luas di platform media sosial China, Weibo, yang sangat ketat dikontrol pemerintah.
Dalam salah satu utas, pengguna membuat lelucan tentang Presiden Trump yang berlindung di bungker Gedung Putih pada 29 Mei lalu di tengah demonstrasi yang memanas.
"Anda presiden yang dipilih oleh banyak orang, kenapa Anda khawatir akan rakyat Anda," ujar salah satu komentar di utas itu, yang disukai oleh hampir 85.000 pengguna.
"Adegan-adegan yang terjadi di Hong Kong, akhirnya muncul di negara Anda," ujar pengguna yang lain.
Iran
Beberapa negara memiliki hubungan yang tegang dengan AS, seperti Iran --negara yang berselisih dengan Washington sejak Revolusi Islam 1979 dan dikenai sanksi keras dari AS.
Segera setelah demonstrasi atas kematian George Floyd dimulai di AS, kantor berita Iran, Fars, menerbitkan komentar yang menyerukan Presiden Trump untuk menegakkan kewajiban Amerika di bawah hukum internasional untuk melindungi komunitas kulit hitamnya.
"AS mencaci negara-negara lain atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia," demikian bunyi artikel itu, "tetapi secara konsisten dan sengaja menolak mengakui dan menangani sejarah suramnya sendiri atas pelanggaran hak asasi manusia."
Media penyiaran Iran juga secara luas melaporkan cuitan Menteri Luar Negeri Mohammad Javad Zarif, di mana ia menyamakan kebrutalan polisi AS terhadap orang Amerika keturunan Afrika dengan sanksi terhadap Iran.
Kendati begitu, penghormatan dengan menyalakan lilin yang diadakan untuk menghormati George Floyd di kota Mashad memicu perdebatan di Twitter, yang diblokir di Iran, setelah beberapa pengguna menuduh para pemimpin Iran menampilkan standar ganda.
Seorang pengguna mengatakan ketika menyalakan lilin untuk George Floyd, pemerintah Iran telah "menangkap orang-orang yang menyalakan lilin bagi mereka yang tewas dalam kecelakaan pesawat Ukraina".
Beberapa pengguna Twitter juga membandingkan reaksi Iran terhadap peristiwa di AS dengan demonstrasi yang terjadi di Iran November lalu, yang menurut Amnesty International, lebih dari 300 tewas akibat tindakan keras polisi.
Rusia
AS juga dianggap munafik oleh media Rusia. Wartawan Rusia, Dmitry Kiselyov mengatakan bahwa jika hal yang mirip terjadi di Rusia, AS dan negara-negara lainnya akan segera menerapkan "sanksi yang baru" terhadap Moskow.
Sejak aneksasi Rusia atas semenanjung Laut Hitam Krimea dari Ukraina, otoritas AS telah menjatuhkan sanksi yang menargetkan pejabat dan kepentingan bisnis di Rusia.
Kiselyov mempertanyakan mengapa Washington mencoba untuk "mengajari planet ini bagaimana untuk hidup", ketika itu tidak hanya memiliki adegan "kekerasan dan kebrutalan, tetapi korban tewas terbesar akibat virus corona".
Dalam program TVItogi Nedeli, kebijakan-kebijakan Donald Trump disamakan dengan `skenario Cina`, di mana ia menyebarkan "tindakan keras terhadap pengunjuk rasa dan larangan keras terhadap media sosial" --sebuah referensi untuk perintah eksekutif presiden AS yang berusaha untuk memaksakan pertanggungjawaban yang lebih besar pada platform internet untuk konten mereka.
Siaran berita malam Vremya yang disiarkan di Channel One Russia, membuat poin yang sama, mengatakan bahwa AS bereaksi terhadap protes dengan taktik sama yang dilakukan pihak berwenang di Turki dan Mesir, yang sebelumnya Washington sebut sebagai "kejahatan".
Turki
Di Turki, menurut tajuk utama harian Yeni Safak yang pro dengan pemerintah setempat, demonstrasi di AS menandai "Berseminya orang-orang Amerika keturunan Afrika".
Media pro-pemerintah Sabah melaporkan "pemberontakan `Aku tidak bisa bernapas` menyebar", mengacu pada kata-kata terakhir George Floyd.
Koran-koran Turki juga melaporkan cuitan Presiden Erdogan tentang George Floyd, mengatakan dia sangat sedih dengan kematiannya, yang dia klaim adalah hasil dari "pendekatan rasis dan fasis".
Di media sosial Turki, pengguna yang pro pemerintah membandingkan kritik atas intervensi polisi Turki dalam sebuah demonstrasi di negara itu, dengan apa yang sedang terjadi di Amerika, dengan salah satu di antara mereka mengatakan, "AS membayar harga dari dosa-dosa mereka."
Selama gerakan demonstrasi besar terakhir di Turki, yang dipicu oleh rencana pembangunan di Taman Gezi Istanbul pada 2013, para pejabat AS menyuarakan keprihatinan mereka atas laporan pengerahan pasukan polisi yang berlebihan, menyerukan pemerintah Presiden Erdogan untuk menghormati hak untuk berkumpul.
Akan tetapi kritik terhadp AS juga memicu respons dari pengguna media sosial di Turki yang lain, yang menuding Presiden Erdogan dan pendukungnya bermuka dua.
Dalam forum debat daring populer, Eksi Sozluk, seorang pengguna mengingatkan Erdogan bahwa dia adalah presiden dari sebuah negara di mana seorang anak tewas setelah kepalanya dipukul dengan tabung gas air mata, merujuk pada Berkin Elvan yang berusia 13 tahun, yang terbunuh dalam protes pada tahun 2013.
Pengguna lain menunjuk pada standar ganda Turki sendiri yang menjadi vokal tentang rasisme di AS, sementara "tetap diam" terhadap kekerasan di provinsi berpenduduk Kurdi di Turki.
"Para rasis bangsa saya yang menentang rasisme di AS, apa kabar Anda hari ini? Jika kecaman Anda terhadap AS telah berakhir, izinkan saya membawa Anda ke Mardin," kata wartawan Nurcan Baysal, seraya membagikan kuburan massal yang baru saja ditemukan di kota Mardin, di mana jenazah sekitar 40 orang ditemukan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: