Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Ribut-ribut Soal RUU HIP, Sebenarnya Apa Sikap Jokowi?

        Ribut-ribut Soal RUU HIP, Sebenarnya Apa Sikap Jokowi? Kredit Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay/Pool
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pemerintah memutuskan tidak ikut membahas Rancangan Undang Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang menjadi inisiatif DPR. Dengan begitu, pembahasannya tidak bisa dilakukan.

        Presiden Jokowi memutuskan untuk tidak mengirimkan surat presiden atau surpres ke DPR, dalam pembahasan RUU HIP. Hal itu dilakukan Kepala Negara setelah membaca dan meminta masukan dari sejumlah pihak.

        Baca Juga: RUU HIP Dihujani Kritik di Luar, 'Dimuluskan' di Dalam

        "RUU tersebut adalah usul inisiatif DPR yang disampaikan kepada pemerintah. Dan sesudah presiden berbicara dengan banyak kalangan dan mempelajari isinya, maka pemerintah memutuskan untuk menunda atau meminta penundaan kepada DPR atas pembahasan rancangan undang-undang tersebut," kata Menkopolhukam Mahfud MD, dalam keterangan persnya, Selasa 16 Juni 2020.

        Keputusan ini, setidaknya sejalan dengan sikap dari berbagai elemen masyarakat sipil. Juga sejumlah ormas seperti Muhammadiyah, yang sudah menyatakan sikapnya agar RUU HIP ini tidak dilanjutkan untuk dibahas. Untuk itu, pemerintah juga berharap DPR bisa menyerap aspirasi masyarakat tersebut.

        "Meminta kepada DPR untuk berdialog dan menyerap aspirasi lebih banyak lagi dengan seluruh kekuatan atau elemen-elemen masyarakat," katanya.

        Dalam pembahasan RUU, harus ada dua unsur yakni eksekutif/pemerintah dan legislatif. Persetujuan untuk dibahas dari pemerintah, ditandai dengan keluarnya surpres, yang berisi bahwa Presiden RI mengutus menteri-menteri terkait untuk membahas bersama-sama dengan DPR. Maka penolakan pembahasan oleh pemerintah, secara prosedur dengan tidak mengirimkan surpres.

        Aspek lain yang dilihat oleh Presiden Jokowi adalah tidak dimasukkannya TAP MPRS No XXV tahun 1966. Ketetapan ini adalah landasan hukum pelarangan PKI dan ajaran-ajaran serupa lainnya sepeti marxisme dan leninisme di Indonesia.

        "Aspek substansinya presiden menyatakan juga bahwa TAP MPRS Nomor 25 tahun 1966 itu masih berlaku mengikat dan tidak perlu dipersoalkan lagi," kata Mahfud. 

        Untuk itu, kata Mahfud, TAP MPRS tersebut masih dianggap sebagai produk hukum yang mengikat. Tidak ada lembaga yang bisa mencabut ketetapan itu, termasuk oleh undang-undang, sehingga masih berlaku hingga kini.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Bagikan Artikel: