Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Muncul Isu Kadrun Versus Komunis, Cebong dan Kampret Lenyap

        Muncul Isu Kadrun Versus Komunis, Cebong dan Kampret Lenyap Kredit Foto: Antara/Aprillio Akbar
        Warta Ekonomi -

        Istilah cebong dan kampret mulai ditinggalkan warga dunia maya. Sekarang yang lagi hits adalah kadrun, singkatan dari kadal gurun. Bahkan, kata Kadrun sempat trending dengan memakai tagar PKSsarangKadrun. Tagar ini muncul setelah heboh tagar PDIPSarangKomunis.

        Entah siapa yang memulai menaikkan tagar tersebut. Yang pasti, setelah PDIP, gantian PKS yang jadi sasaran serangan. Namun, kedua tagar tersebut tak lepas dari polemik RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang tengah digodok DPR.

        Baca Juga: Demokrat Kritik Keras RUU HIP, Katanya....

        Apa penyebab perang tagar di Twitter? Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari, menganggap RUU HIP hanya salah satu pemantik pertikaian yang pada dasarnya bersifat ideologis.

        "Jadi, ideologis politik Indonesia kalau dibagi dalam spektrum kiri ke kanan. Kanan itu adalah Islam atau santri, kiri nasionalis atau nonsantri," cetusnya.

        Dijelaskan Qodari, dari dua kutub itu, Islam terbagi dua. Yang tradisional posisinya di kanan rada ke dalam. Sedangkan yang modernis paling ujung kanan. Begitu juga nasionalis. Yang populis itu paling kiri. Sedangkan yang kapitalis di kiri rada ke tengah.

        Jika disematkan, PDIP itu di kiri ujung. Kemudian PKS di kanan ujung. Sehingga rentang ideologisnya sangat jauh. Hal ini melahirkan perbedaan, terutama jika terjadi peristiwa politik tertentu, seperti pemilu atau pembahasan Undang-Undang.

        Kata Qodari, istilah kadrun dan sebagainya bukanlah hal baru. Kondisi seperti ini sudah terjadi sejak pembahasan dasar negara ini. Tepatnya tahun 1955 lantaran ada pengelompokan politik. "Inilah realitanya. Dan itulah PR bangsa ini. Bagaimana kemudian perbedaan ideologi tersebut tidak membuat kita menjadi pecah-belah. Tapi bisa menemukan persamaan," imbuhnya.

        Apa tanggapan PKS? Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera tidak mau ambil pusing dengan kelakuan netizen. Menurutnya, hal semacam itu terbilang wajar di era kebebasan berkomentar dan berseliwerannya informasi. Namun, yang digarisbawahi Mardani dalam kasus ini ada dua. Pertama, trending topic yang organik.

        Dia mencontohkan kenaikan tagihan listrik yang dirasakan pelanggan PLN dan diluapkan di media sosial, khususnya Twitter. "Bisa dilihat akunnya, rata rata sudah lama ada. Follow dan follower-nya juga normal," ulasnya.

        Kedua, trending topic yang non-organik. Biasanya, kejadian ini lebih terkoordinir. Bahkan jika dicermati dengan seksama, rata-rata akun mencuit terbilang baru, tidak mem-follow, apalagi punya followers.

        "Karena itu, menghadapi fenomena trending topic ini, kita enjoy aja," tutur Mardani.

        Selain kadrun yang menjadi trending, dia juga memandang pembahasan RUU HIP memang ramai dibicarakan publik. Bahkan cenderung meledak. Hal itu dikarenakan banyak lembaga maupun organisasi seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, para ulama dan habaib menolak RUU kontroversial tersebut.

        Menurut Mardani, kenangan pahit pengkhianatan PKI tahun 1965 masih melekat. Ini salah satu alasan membuat PKS menolak, bahkan sejak masih di Badan Legislasi maupun di Rapat Paripurna 12 Mei lalu.

        "Kalau karena aksi ini PKS dianggap menentang komunisme, kami terima," tegas legislator Komisi II DPR itu.

        Namun, dia memandang trending topic hanya fenomena sesaat sehingga tidak berpengaruh pada pengerekan elektabilitas. Mardani justru menyebut aksi di lapangan yang akan memikat hati masyarakat.

        "Seperti hadir dalam bencana, selalu membantu masyarakat. Karena kita ingin menjadikan PKS adalah Partai Kita Semua, ciri Partai Kasih Sayang, selalu dirasakan masyarakat. Jadi kita nikmati saja semua dinamika. Tidak perlu besar kepala, apa lagi baper," pungkasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Cahyo Prayogo

        Bagikan Artikel: