Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Ahli: JS Saving Plan Produk Tidak Patut dan Bersifat Ponzi

        Ahli: JS Saving Plan Produk Tidak Patut dan Bersifat Ponzi Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Sidang lanjutan kasus korupsi di PT Asuransi Jiwasraya (Persero) menghadirkan saksi ahli Irvan Rahardjo sebagai pakar asuransi digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Rabu (12/7).

        Dalam kesaksiannya, Irvan mengatakan produk asuransi JS Saving Plan sejak awal dinilai bukan lah produk yang patut untuk dijalankan oleh perusahaan asuransi.

        Baca Juga: Ini Kata Ahli Soal Perilaku Fetish: Termasuk Gangguan Jiwa!

        Baca Juga: Soal Suntikan Modal Jiwasraya, Sri Mulyani: Masih Fokus Covid-19

        “Memang berizin dan boleh dalam aturan, tapi dalam prinsip asuransi itu tidak patut dilakukan. Asuransi itu bukan manajer investasi, tapi manajer risiko,” katanya.

        Lanjutnya, ia mengatakan kehadiran JS Saving Plan sebagai produk asuransi menurut Irvan masuk dalam kategori unit link, namun tidak sepenuhnya produk asuransi unit link. Hal itu dikatakan demikian lantaran Jiwasraya saat dipimpin oleh Hendrisman Rahim, yang kini menjadi terdakwa menjanjikan imbal hasil yang besar dan pasti, yang mana produk JS Saving Plan memberikan bunga investasi di atas rata-rata suku bunga acuan.

        Dalam produk JS Saving Plan, manajemen lama Jiwasraya mematok keuntungan pasti dari investasi ini di angka 9%-13%, yang mana rata-rata acuan suku bunga obligasi di antara 4%-7%.

        “Saving Plan itu kalau bisa dikatakan kesalahan, dalam keadaan menjanjkan imbal yang pasti,” paparnya.

        Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pun sempat bertanya terkait dengan premi nasabah terbaru yang dibayarkan untuk polis jatuh tempo nasabah yang lain. Irvan menjelaskan itulah salah satu yang membuat Jiwasraya runtuh.

        Asuransi sebagai industri keuangan dalam melakukan tata kelolanya bisa menginvestasikan sumber pendapatan dari premi yang dibayarkan nasabah, namun fluktuasi dari waktu ke waktu harus selalu dilaporkan kepada tertanggung.

        “Bahwa ia membayar nasabah hari ini dan menunggu besok mengambil premi, itu yang disebut dengan praktek ponzi. Ia baru bisa bayar nasabah pertama kalau ia dapat nasabah berikutnya. Dengan mudah kita katakan gali lubang tutup lubang. Ini tidak sesuai dengan prinsip kehati-hatiaan.”

        Jiwasraya, seharusnya menurut Irvan, melakukan praktik bisnisnya dengan melakukan perhitungan sovabilitas sebagai ukuran perusahaan menyelesaikan kewajiban jangka panjang, dan leabilitas untuk kemampuan jangka pendek.

        Selain itu, ada beberapa aset yang diperkenankan dalam bentuk investasi dan non investasi. Jenis investasi meliputi reksadana, saham, deposito, medium term note dan lainnya dengan mengikuti aturan yang dikeluarkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

        Dalam perkara ini, enam terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan dana dan investasi saham PT AJS, Direktur Utama PT Hanson International Tbk Benny Tjokrosaputro, Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat, Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto, Direktur Utama PT Asuaransi Jiwasraya Hendrisman Rahim, Direktur Keuangan Jiwasraya periode Januari 2013-2018 Hary Prasetyo dan mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya Syahmirwan didakwa merugikan negara sebesar Rp 16,8 triliun.

        Atas perbuatannya, keenam terdakwa didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Korupsi Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Jo. Pasal 65 ayat 1 KUHP.

        Sementara itu, Heru Hidayat dan Benny Tjokrosaputro juga turut didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) atas korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT AJS yang merugikan keuangan negara senilai Rp 16,8 triliun. Heru dan Benny Tjokro disebut membelanjakan uang hasil tindak pidana korupsi pada PT AJS tersebut.

        Atas perbuatannya, Heru dan Benny Tjokro juga didakwa melanggar Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Vicky Fadil

        Bagikan Artikel: