Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Kredit Macet Bank BUKU IV Bengkak, Siapa yang Paling Parah?

        Kredit Macet Bank BUKU IV Bengkak, Siapa yang Paling Parah? Kredit Foto: Bank Danamon
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Awal tahun 2020 menjadi tantangan besar bagi perekonomian Indonesia. Hampir semua sektor terimbas oleh adanya pandemi Covid-19, termasuk sektor perbankan. Berdasarkan catatan WE Online, kinerja keuangan dari tujuh bank BUKU IV bahkan kompak anjlok sepanjang semester I 2020.

        Bukan hanya dari pendapatan dan laba, tingkat kesehatan perbankan juga dapat dipertimbangkan berdasarkan rasio kredit macet (non performing loan/NPL). Data yang dihimpun WE Online menunjukkan bahwa hampir semua NPL bank BUKU IV mengalami pembengkakan. Lantas, siapakah yang paling parah? 

        Baca Juga: Laba 7 Bank BUKU IV Anjlok Berjamaah, Siapa yang Paling Tekor?

        Untuk lebih jelasnya, simak uraian berikut ini.

        1. Bank Danamon (4,1%)

        PT Bank Danamon Indonesia Tbk (BDMN) menempati posisi pertama dengan rasio kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) terbesar di antara bank BUKU IV lainnya. NPL Bank Danamon tercatat tumbuh dari 3,2% pada semester I 2019 menjadi 4,1% pada semester I 2020. 

        Berbanding terbalik, portofolio kredit Bank Danamon justru menurun 4% dari Rp148,2 triliun pada Juni 2019 menjadi Rp142,7 triliun pada Juni 2020. Dari seluruh segmen, kredit di segmen enterprise banking yang terdiri atas segmen perbankan korporasi, perbankan komersial, dan institusi keuangan menjadi yang paling mendominasi. Per Juni 2020, kredit di segmen tersebut tumbuh 16% menjadi Rp 51,2 triliun.

        Baca Juga: 6 Bank Nasional yang Resmi Diakuisisi Asing

        Sementara itu, kredit di segmen perbankan usaha kecil menengah (UKM) dan kredit konsumer mortgage masing-masing berada pada Rp27,3 triliun dan Rp8,7 triliun pada akhir Juni 2020. Direktur Utama Bank Danamon, Yasushi Itagaki, mengklaim bahwa pihaknya telah menyiapkan diri dalam menghadapi tantangan ekonomi akibat pandemi, di antaranya melalui pengalokasian pendanaan yang lebih sehat.

        "Bank Danamon menjaga penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan kualitas aset melalui pelaksanaan prosedur penilaian risiko, serta proses collection dan recovery kredit yang disiplin. Bank Danamon terus menjaga pencadangan yang cukup dan saat yang sama membantu nasabah yang terdampak Covid-19 melalui restrukturisasi kredit," ungkapnya.

        Lebih lanjut, Bank Danamon mengklaim kondisi likuiditas dan permodalan saat ini dalam kondisi yang sehat. Bank Danamon terus fokus terhadap pendanaan granular yang ditunjukkan dengan pertumbuhan 19% pada giro dan tabungan (CASA) dan TD regular. CASA naik 14% menjadi Rp62 triliun. Dengan demikian, CASA mencakup lebih dari setengah total dana pihak ketiga Bank Danamon dengan rasio CASA sebesar 53,2%.

        2. CIMB Niaga (3,89%)

        Rasio kredit bermasalah (NPL) PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) juga ikut membengkak pada paruh pertama tahun ini. Per Juni 2020, CIMB Niaga mencetak rasio NPL sebesar 3,89%, sedangkan pada Juni 2019 hanya sebesar 2,87%. 

        Ketika NPL membengkak, penyaluran kredit CIMB Niaga justru terkontraksi pada semester I 2020. Per Juni 2020, CIMB Niaga menyalurkan kredit sebesar Rp186,08 triliun, turun 2,3% dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp190,5 triliun. 

        Baca Juga: CIMB Niaga Syariah Dorong Masyarakat Lakukan Qurban Cara Digital

        Kontraksi tersebut terjadi bersamaan dengan penurunan penyaluran kredit komersial sebesar 12,8% menjadi Rp40,45 triliun sampai dengan Juni 2020. Begitu pun juga dengan segmen UMKM yang turun 7% menjadi Rp20,12 triliun. Sementara itu, penyaluran kredit di segmen lainnya mengalami pertumbuhan, yakni segmen konsumer tumbuh 5,4% menjadi Rp53,88 triliun dan kredit korporasi tumbuh 0,3% menjadi Rp71,63 triliun. 

        Presiden Direktur CIMB Niaga, Tigor M. Siahaan, mengungkapkan bahwa pihaknya senantiasa mengedepankan pencegahan yang ekstra di tengah kondisi yang menantang akibat pandemi Covid-19. Atas dasar itu pula, CIMB Niaga berusaha untuk melakukan efisiensi dan fokus pada likuiditas serta kecukupan modal perusahaan.

        "Pada saat yang bersamaan, kami juga mengedepankan tindakan pencegahan yang ekstra untuk melindungi kesehatan dan keamanan karyawan, serta fokus pada likuiditas, kecukupan modal, dan menjaga efisiensi operasional bank," pungkasnya secara tertulis beberapa waktu lalu.

        Sebagai catatan, dalam enam bulan pertama tahun 2020, CIMB Niaga mengantongi DPK sebesar Rp203,7 triliun dengan rasio dana murah (CASA) sebesar 61,0%. Total aset CIMB Niaga saat ini mencapai Rp274,4 triliun.

        3. Bank Mandiri (3,28%)

        NPL PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) pada paruh pertama tahun 2020 ini juga ikut membengkak. Per Juni 2020, Bank Mandiri mencatatkan NPL di level 3,28%, naik dari Juni 2019 yang kala itu sebesar 2,59%. Mempertimbangkan kondisi perekonomian pada masa pandemi, Bank Mandiri memproyeksikan NPL sampai akhir tahun akan berada di kisaran 3,5% hingga 3,6%.

        Kemudian, sampai dengan Juni 2020, penyaluran kredit Bank Mandiri tercatat tumbuh 4,38% dari Rp835,1 triliun menjadi Rp871,7 triliun. Direktur Utama Bank Mandiri, Royke Tumilaar, menjelaskan bahwa saat ini Bank Mandiri mengupayakan untuk mendorong pertumbuhan kredit. Meski begitu, penyaluran kredit diakuinya akan menjadi lebih selektif.

        "Kami sampaikan fokus Bank Mandiri saat ini adalah mendorong pertumbuhan melalui penyaluran kredit yang selektif serta restrukturasi debitur yang terdampak pandemi," pungkas Royke pada 19 Agustus 2020 lalu.

        Sebagai catatan, pada paruh pertama tahun ini, Bank Mandiri menghimpun DPK sebesar Rp976,6 triliun dengan CASA berada di angka 61,9%.

        4. BRI (3,13%)

        NPL PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) tercatat naik dari 2,52% pada Juni 2019 menjadi 3,13% pada Juni 2020. Manajemen BRI mengusahakan bahwa NPL akan terjaga di kisaran level 3% sampai dengan akhir tahun 2020. 

        Membengkaknya NPL dibarengi dengan pertumbuhan penyaluran kredit BRI sepanjang semester I 2020 sebesar 5,23%, jauh lebih tinggi dari angka pertumbuhan kredit industri perbankan yang hanya 1,49%. Per Juni 2020, BRI menyalurkan kredit konsolidasi sebesar Rp922,97 triliun, sedangkan pada tahun sebelumnya tercatat sebesar Rp877,07 triliun.

        Segmen Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menjadi yang paling mendominasi terhadap penyaluran kredit BRI, yakni mencapai 78,58% atau sebesar Rp725,27 triliun.  

        Direktur Utama BRI, Sunarso, mengungkapkan dengan dominasi penyaluran kredit ke segmen UMKM itu menggambarkan semangat BRI dalam membantu nasabah, khususnya para pelaku UMKM yang membutuhkan modal kerja. 

        "Sejak awal pandemi terjadi, kami fokus melakukan upaya penyelamatan dan membantu kebangkitan UMKM," tegas Sunarso secara virtual pada 19 Agustus 2020 lalu. 

        Kendati begitu, Sunarso menyebut bahwa BRI menjadi lebih selektif dalam hal penyaluran kredit. Pada paruh pertama 2020 ini, restrukturasi kredit BRI mencapai Rp183,7 triliun dengan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga sebesar 13,5% dari Rp945,05 triliun pada Juni 2019 menjadi Rp1.072,5 triliun pada Juni 2020.

        5. BNI (3%)

        PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) mencatatkan kenaikan NPL dari 1,8% pada semester I 2019 menjadi 3% pada semester I 2020. Peningkatan tersebut disumbang oleh NPL segmen usaha menengah yang menjadi sebesar 6,7%, kemudian diikuti segmen usaha kecil sebesar 3,3%, dan korporasi sebesar 2,22%.

        Sejalan dengan hal tersebut, penyaluran kredit BNI juga melonjak sebesar 5% dari Rp549,23 triliun pada Juni 2019 menjadi Rp576,77 triliun pada Juni 2020. Mayoritas kredit disalurkan kepada korporasi swasta, yakni sebesar Rp196,32 triliun. Penyaluran kredit berikutnya, yakni kepada BUMN sebesar Rp117,79 triliun dan konsumer sebesar Rp44,76 triliun. 

        Direktur BNI, Adi Sulistyowati, mengungkapkan bahwa untuk mengantisipasi risiko peningkatan kredit bermasalah, BNI memilih untuk memperbesar cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) dengan nilai provisi sebesar Rp7,46 triliun.

        "Meningkatnya pencadangan kerugian ini merupakan bentuk antisipasi risiko penurunan kualitas aset di masa depan," imbuhnya.

        Sementara itu, sepanjang semester I tahun ini, BNI telah menghimpun DPK senilai Rp662,38 triliun. Angka tersebut melonjak 11,3% dari semester I 2019 yang sebesar Rp595,07 triliun.

        6. BCA (2,1%)

        PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) juga mencatatkan peningkatan rasio NPL dari 1,4% pada semester I 2019 menjadi 2,1% pada semester I 2020. Di sisi lain, penyaluran kredit BCA sepanjang enam bulan pertama tahun 2020 hanya bertumbuh sebesar 5,3%. Pada Juni 2019, penyaluran kredit BCA mencapai Rp562,2 triliun, sedangkan pada Juni 2020 tercatat sebesar Rp595,1 triliun.  

        Pertumbuhan tersebut ditopang oleh kredit korporasi yang juga tercatat tumbuh 17,7% yoy menjadi Rp257,9 triliun. Kontributor pertumbuhan kredit lainnya adalah kredit komersial dan UKM yang turun 0,9% yoy menjadi Rp184,6 triliun pada paruh pertama tahun ini.

        Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja, menjelaskan bahwa di tengah kondisi perlambatan bisnis akibat pandemi Covid-19, BCA senantiasa fokus dalam mendukung nasabah, khususnya melalui restrukturasi kredit yang selektif di berbagai segmen. Sampai dengan 30 Juni 2020, BCA telah memproses pengajuan restrukturasi kredit sebesar Rp115 triliun atau setara dengan 20% dari total portofolio kredit dari 118.000 nasabah. 

        Lebih lanjut, Jahja menjelaskan bahwa total kredit yang telah direstrukturasi pada periode tersebut mencapai 12% dari total portofolio kredit, yakni sebesar Rp69,3 triliun.

        "Kami melihat adanya kemungkinan peningkatan kredit yang direstrukturasi hingga 20% hingga 30% dari total portofolio kredit yang berasal dari 200.000 hingga 250.000 nasabah," ungkap Jahja secara tertulis. 

        Guna mengantisipasi potensi penurunan kualitas kredit, BCA mengalokasikan biaya pencadangan penurunan nilai aset sebesar Rp6,5 triliun pada semester pertama tahun 2020 ini.

        7. Bank Panin (0,79%)

        Bank Panin tercatat memiliki NPL bersih sampai dengan Juni 2020 sebesar 0,79%. Rasio tersebut menurun dari periode Juni 2019 yang tercatat sebesar 0,96%. Kompak dengan NPL, penyaluran kredit Bank Panin sepanjang semester I 2020 juga menurun sedalam 9,04% menjadi Rp139,62 triliun. 

        Adapun pada semester I 2019, Bank Panin tercatat menyalurkan kredit sebesar Rp 153,50 triliun. Melalui keterangan resminya, manajemen Bank Panin menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi yang melambat pada masa pandemi menjadi faktor yang membuat kredit Bank Panin merosot. 

        "Penurunan kredit tersebut sejalan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya risiko kredit akibat pandemi," tegas Bank Panin secara tertulis. 

        Menyiasati hal tersebut, Bank Panin mengatakan akan secara proaktif meningkatkan pengelolaan kredit melalui restrukturasi kredit mengingat dampak pandemi Covid-19 masih mungkin akan berlangsung dalam jangka panjang. Dilansir dari laporan keuangan perusahaan, per 30 Juni 2020 Bank Panin telah melakukan penyelamatan kembali atas kredit untuk beberapa debitur sebesar Rp21,34 triliun. 

        Sementara itu, sejak awal tahun hingga Juni 2020, Bank Panin menghimpun DPK sebesar Rp141,32 triliun. DPK tersebut meliputi 36,29% atau Rp51,29 triliun dalam bentuk giro dan tabungan, sedangkan sisanya dalam bentuk deposito.

        Perlu diketahui bahwa sebuah bank dikatakan sehat apabila mempunyai NPL kurang dari 5%. Dengan kata lain, jika NPL suatu bank melebihi 5%, lembaga tersebut masuk kategori berpotensi mengalami kesulitan dalam usahanya.

        Hal tersebut termaktub dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/2/PBI/2013 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum Konvensional.

        Dalam peraturan tersebut, khususnya Bab II Pasal 4 Ayat (2) disebutkan bahwa bank dinilai memiliki potensi kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya jika memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai berikut, salah satunya adalah rasio kredit bermasalah (non performing loan) secara neto lebih dari 5% (lima persen) dari total kredit.

        Dengan memperhatikan ketentuan tersebut, ketujuh bank BUKU IV di atas masih dikatakan sehat berdasarkan rasio NPL per semester I 2020.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Lestari Ningsih
        Editor: Lestari Ningsih

        Bagikan Artikel: