Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Apa Itu Dewan Moneter?

        Apa Itu Dewan Moneter? Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Dewan Moneter adalah lembaga yang bertugas mengawasi dan memberi nasihat mengenai keuangan negara atau organisasi keuangan negara. Posisi Dewan Moneter akan berada di atas Bank Indonesia.

        Tujuan pembentukan Dewan Moneter adalah untuk membantu pemerintah dan Bank Indonesia dalam merencanakan dan menetapkan kebijakan moneter. Selain itu, Dewan Moneter mempunyai fungsi memimpin, mengoordinasikan, dan mengarahkan kebijakan moneter sejalan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.

        Dewan Moneter menjadi wacana yang dicanangkan dalam rancangan undang-undang (RUU) terkait perubahan kedua Undang-Undang Nomor 3/2004 tentang Bank Indonesia.

        Berdasarkan draf perubahan ketiga UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Pasal 9A dinyatakan Dewan Moneter ditetapkan sebanyak lima anggota yang terdiri dari Menteri Keuangan, Menteri bidang Perekonomian, Gubernur BI, Deputi Senior BI, serta Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

        Lebih lanjut, pada pasal 9B ayat 3 dinyatakan bahwa Dewan Moneter diketuai oleh Menteri Keuangan. Adapun, Sekretariat Dewan Moneter diselenggarakan oleh BI. Selain kelima anggota tersebut, pemerintah dapat menambah beberapa orang menteri sebagai anggota penasehat jika merasa diperlukan.

        Baca Juga: Bu Menkeu Pimpin Dewan Moneter, RR: Pak Jokowi Mudah Diakali?

        Dewan Moneter diwajibkan melakukan sidang minimal dua kali sebulan atau sesuai kebutuhan jika ada situasi mendesak.

        Dalam pasal 9C ditetapkan bahwa keputusan Dewan Moneter diambil dengan musyawarah mufakat bila Gubernur BI tidak bisa memufakati hasil musyawarah Dewan Moneter. Dalam hal ini, Gubernur BI dapat mengajukan pendapatnya pada pihak pemerintah.

        Dengan itu, BI akan menjadi lembaga negara independen yang berkoordinasi dengan pemerintah dalam melaksanakan tugas dan wewenang. BI juga akan bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal yang diatur dalam UU.

        Perlu diketahui, sebelum ada draf perubahan ini, BI merupakan lembaga independen dalam melaksanakan tugas dan wewenang, bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak lain.

        Dalam pasal 10 ayat 1A, BI harus menetapkan sasaran moneter dengan mempertimbangkan target inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan penciptaan lapangan kerja. Sebelumnya pencapaian target pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja tidak termasuk dalam penugasan BI dalam UU sebelum ada draf perubahan ini.

        Sementara itu, dalam pasal 11 ayat 4 dinyatakan bahwa BI dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban bersama BI dan pemerintah apabila terdapat bank mengalami kesulitan keuangan berdampak sistemik.

        Lalu dalam pasal 34 ayat 1, BI mendapatkan kembali pelaksanaan tugas pengawasan bank yang selama ini dilaksanakan oleh OJK. Pengalihan tugas tersebut selambat-lambatnya dilaksanakan pada 31 Desember 2023.

        Terdapat beberapa alasan pengajuan revisi UU BI antara lain independensi yang berlebih dan tujuan bank sentral yang dipersempit mengakibatkan kebijakan moneter tidak berperan optimal dalam pembangunan ekonomi. Selain itu, kebijakan moneter dinilai tidak dapat berperan serta dalam situasi darurat yang membahayakan ekonomi negara.

        Kemudian kebijakan ekonomi makro yang efektif membutuhkan koordinasi moneter dan fiskal yang kuat untuk mendorong perekonomian, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

        Banjir Kritik

        Banyak kritikan terhadap rencana pembetukan Dewan Moneter yang dianggap membawa kembali Indonesia ke era Orde Lama. Saat Orde Lama, BI dipimpin oleh Dewan Moneter, Direksi, dan Dewan Penasihat.

        Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menilai rencana pembentukan kembali Dewan Moneter adalah kemunduran bagi bank sentral di Indonesia. Pembentukan Dewan Moneter dinilai bisa menghancurkan sistem moneter Indonesia dan mengganggu independensi Bank Indonesia.

        Menurutnya, koordinasi kebijakan moneter, fiskal, dan sistem keuangan sudah diwadahi dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

        "Kita tidak membutuhkan Dewan Moneter. Dewan Moneter itu masa lalu yang menggunakan rujukan UU BI yang lama, yang sudah tidak berlaku" kata Piter.

        Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik J Rachbini, mengingatkan hal serupa bahwa pembentukan kembali Dewan Moneter akan mengancam stabilitas sistem moneter dan keuangan Indonesia. Hal itu karena kepercayaan pelaku pasar keuangan akan ikut tergerus seiring pelemahan fungsi pengawasan oleh bank sentral.

        "Padahal selama ini BI sudah mampu menjaga kepercayaan pasar keuangan kita seperti menjunjung tinggi semangat independensi," sebutnya.

        Didik menilai keterlibatan perwakilan pemerintah dalam Dewan Moneter akan berpotensi mengembalikan fungsi pengawasan bank sentral seperti di era Orde Baru. Hal ini tentu akan berdampak negatif pada independensi BI.

        "Sekarang ini ada Perppu untuk Dewan Moneter. Ini kacau lagi, kekuasaan yang liar akan masuk ke sistem moneter dan ini akan balik ke Orde Baru. Ini sangat membahayakan," kata Didik.

        Sementara itu, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri terdapat landasan pemikiran yang keliru atas rencana pembentukan Dewan Moneter dalam memberi respons atas krisis yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19. Ia menegaskan sektor keuangan masih berada pada kondisi yang baik di tengah pandemi Covid-19.

        "Apa salahnya moneter ini? Semua kita lihat tadi, enggak ada salah moneter karena yang salah tax ratio kecil, turun terus, gagal menarik pajak dari sektor ekonomi yang terus tumbuh," kata Faisal Basri.

        Ia menegaskan semakin cepat pemerintah memberi kepastian terkait berakhirnya Covid-19 maka akan semakin cepat juga masyarakat menggunakan uang untuk melakukan konsumsi. Ia menyebutkan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan masih sangat tinggi yaitu 8 persen yang mengindikasikan bahwa masyarakat lebih banyak menabung untuk berjaga-jaga daripada melakukan konsumsi.

        "Itu karena masyarakat menghadapi ketidakpastian selesainya Covid-19. Masalahnya di fiskal dan kementerian teknis, tapi ini moneter yang diobok-obok," kata Faisal.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Fajria Anindya Utami
        Editor: Fajria Anindya Utami

        Bagikan Artikel: