Sejak tiga tahun terakhir, regulasi Uni Eropa melalui kebijakan energi terbarukan (Renewable Energy Directive II/RED II) terkait produksi dan promosi energi terbarukan yang akan berlaku pada 2020-2030 tersebut cenderung mendiskreditkan CPO Indonesia. Dalam kebijakan ini, Uni Eropa wajib memenuhi 32 persen dari total kebutuhan energi melalui sumber terbarukan pada 2030.
Untuk mendukungnya, Uni Eropa menerbitkan delegated act melalui konsep perubahan penggunaan lahan secara tidak langsung (Indirect Land Use Change/ILUC) yang berisi penetapan kriteria tanaman pangan yang berisiko tinggi dan berisiko rendah terhadap perubahan fungsi lahan dan deforestasi.
Tanaman pangan yang dianggap berisiko tinggi akan dibatasi penggunaannya dan dihapuskan secara bertahap dari pasar bahan bakar nabati Uni Eropa. Namun sayangnya, kelapa sawit ikut ditetapkan sebagai tanaman pangan berisiko tinggi terhadap ILUC.
Baca Juga: Hingga CW II-2020, Segini Dana Pungutan Ekspor Sawit…
Baca Juga: Harga CPO Makin Merona di W1-September 2020!
Menanggapi kondisi tersebut, pemerintah Indonesia terus berupaya untuk melakukan gugatan terhadap Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) terkait kebijakan yang mendiskriminasi produk sawit dan turunannya.
Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Indonesia, Jerry Sambuaga yang mewakili pemerintah Indonesia dalam gugatan tersebut merasa geram dengan tindakan Uni Eropa. Pasalnya, kelapa sawit merupakan salah satu komoditas andalan nasional yang berdampak signifikan terhadap perekonomian negara. Ditambah lagi, industri perkebunan kelapa sawit juga menyerap banyak tenaga kerja.
Lebih lanjut Jerry mengatakan, "di WTO, saya mewakili pemerintah mempertanyakan kebijakan diskriminatif Eropa. Ini bukan hanya soal untung rugi saja, tapi banyak petani kita yang menggantungkan hidupnya pada sawit. Dampak ekonominya cukup besar."
Menurut Jerry, kebijakan diskriminasi sawit tersebut bertolak belakang dengan sikap Uni Eropa yang senantiasa mendorong perdagangan bebas (free trade).
"Eropa yang mendorong free trade malah memblokir produk sawit dan turunannya. Mereka bahkan melakukan kampanye hitam sampai pada level pendidikan, yang mengatakan bahwa sawit itu tidak baik," ujarnya.
Terkait permasalahan kelestarian hutan Indonesia yang menjadi alasan diskriminasi kelapa sawit, Jerry mengatakan, Indonesia merupakan negara yang justru memiliki wilayah hutan yang lebih luas dibandingkan Eropa yang hanya kurang dari 20 persen terhadap wilayahnya.
"Saya pikir ini soal persaingan dagangan terhadap produk mereka yang memang bersaing dengan sawit," kata Jerry.
Saat ini, proses gugatan Indonesia terhadap Unu Eropa di WTO terhambat akibat pandemi Covid-19 yang masih mewabah. Namun, Jerry berkomitmen untuk terus mengawal permasalahan ini hingga selesai.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Rosmayanti