Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Punya Potensi Mangrove, Teluk Bintuni Siap Jadi Produsen Olahan Seafood

        Punya Potensi Mangrove, Teluk Bintuni Siap Jadi Produsen Olahan Seafood Kredit Foto: Pemkab Bintuni
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Hutan mangrove Teluk Bintuni, Papua Barat menyimpan kekayaan yang luar biasa. Dengan luasan yang mencakup 10 persen dari seluruh wilayah mangrove di Indonesia, potensi ekonomi yang dimiliki oleh kandungan hutan mangrove Teluk Bintuni mampu memberikan nilai lebih bagi masyarakatnya.

        Ada tiga biota mangrove yang menjadi tumpuan masyarakat sekitar: Udang jerbung (Penaeidae), kepiting bakau (Geryonidae) dan kakap (Scianidae). Ketiga biota ini memberikan kontribusi besar bagi nilai ekspor produk perikanan di Teluk Bintuni. Baca Juga: Menunggu Potensi Manis Biji Kopi dari Bintuni

        Namun, produk perikanan ini masih minim pengolahan menjadi produk makanan yang dapat memberikan nilai tambah. 

        Pengolahan produk perikanan dapat menjadi nilai tambah bagi perekonomian masyarakat. Tentunya dengan memperhatikan aspek kebersihan, pengolahan yang apik, serta kemasan yang menarik.

        Kepiting bakau, sebagai salah satu komoditas andalan dari Teluk Bintuni, terutama di Pulau Babo atau yang lebih dikenal sebagai Distrik Babo, bisa memberikan nilai tambah jika bentuk komoditas ini menjadi makanan olahan dengan berbagai variasi yang menarik. Kerupuk salah satunya.

        Bupati Teluk Bintuni, Petrus Kasihiw, mengungkapkan keinginan mengembangkan produk-produk perikanan ini menjadi processed food atau produk makanan olahan. 

        “Hasil perikanan kita mulai dari kepiting, udang dan ikan kakap ini punya potensi menjadi produk ekspor makanan olahan ke depannya. Saya ingin menggeliatkan UMKM sebagai core business dari produk makanan olahan ini. Contohnya Kerupuk ikan, kepiting dan udang,” katanya, Selasa (29/9/2020).

        Lanjtunya, ia mengatakan Kepiting yang ditemui di Teluk Bintuni hanya dihargai Rp10 ribu per ekornya. Menilik dari penjualan mentah ini, tentunya tidak akan memberikan nilai tambah yang begitu signifikan bagi masyarakat dan nelayan.

        Demikian pula udang dan ikan kakap. Oleh karena itu, Petrus mulai mengajak peran serta masyarakat dan lembaga-lembaga swadaya untuk memberikan penyuluhan atau pelatihan mengenai bagaimana pengolahan kepiting udang dan ikan, agar menjadi produk makanan siap saji yang dapat bertahan sebagai komoditas ekspor maupun distribusi skala nasional.

        Pengolahan kepiting udang dan ikan menjadi kerupuk atau kudapan, bisa menjadi salah satu solusi. Pemberdayaan masyarakat dalam industri yang dapat dikerjakan pada skala rumahan ini tentu menjadi salah satu nilai yang bisa ditambahkan dari bisnis ini.

        Tersedianya sumber yang berkelimpahan adalah faktor yang dapat menjadikan kerupuk kepiting, udang dan ikan Teluk Bintuni dapat menjadi komoditas andalan. 

        “Untuk pemasaran dari produk ini, pasar nasional dan internasional akan kita sasar. Bahkan ada beberapa investor dari Jepang dan China yang sudah mulai melirik potensi ini. Hal ini akan saya maksimalkan komoditasnya. Mereka itu kan penggila kudapan sea food. Jadi pasar nantinya ada. Nah bagaimana saya dan Pak Matret (wakil bupati) akan mengakomodir potensi pasar ini dengan UMKM yang ada di Bintuni,” imbuh Petrus.

        Geliat perekonomian daerah Teluk Bintuni bisa digairahkan melalui industri-industri rumahan ini, tentunya dengan jalur distribusi dan pemasaran yang diintervensi oleh pemerintah daerah, niscaya kerupuk kepiting, udang dan ikan Teluk Bintuni bisa menjadi produk yang diminati nasional dan internasional.

        Dengan hadirnya industri-industri pengolahan makanan sebagaimana yang dimaksud, selain merambah pemberdayaan masyarakat untuk ikut aktif sebagai pengelola, hal ini bisa menjadi nilai ekonomi yang mendukung Teluk Bintuni sebagai Kawasan Industri Khusus.

        Industri yang menggeliat selain teknik industri, migas dan petrokimia, tentunya memberikan alternatif lebih kepada masyarakat Teluk Bintuni untuk berpartisipasi demi kemajuan daerahnya.

        Menjamurnya produk makanan olahan yang tidak begitu banyak variasi dari daerah Indonesia timur, merupakan faktor pendukung industri ini bisa berpeluang menjadi potensi. Dengan kemajuan komunikasi, diharapkan produk olahan ini bisa menjadi raksasa processed food baru di Indonesia.

        “Ya saya ingin nantinya Bintuni ini akan dikenal dunia juga dengan produk Bintuni fish cracker, Bintuni crab cracker maupun Bintuni shrimp cracker-nya. Itu bahasa kerennya. Bahasa kitanya itu kerupuk,” pungkas Petrus.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Vicky Fadil

        Bagikan Artikel: