Jenderal Besar AS Janji Militer Gak Campur Tangan dalam Pilpres
Komandan Kepala Staf Gabungan Militer Amerika Serikat (AS) Jenderal Mark Milley menegaskan pihaknya tidak akan mencampuri jalannya pemilihan presiden 3 November nanti.
Milley (62) dan seluruh jajarannya menegaskan bahwa mereka menjunjung tinggi pemerintahan sipil dan akan mendukung jalannya pemilihan umum yang damai dan adil.
Baca Juga: Debat Babak Kedua Gagal, Trump Untung Apa Buntung?
Sikap tegas Milley ini menjawab kekhawatiran sejumlah pihak yang memprediksi akan adanya campur tangan militer dalam pesta demokrasi mendatang.
Banyak juga yang khawatir, militer bakal turun tangan jika ada kandidat yang menolak hasil penghitungan suara dalam pilpres nanti.
"Jalannya pemilihan umum akan diawasi oleh penegak hukum dan Kongres AS. Kami dari militer akan selalu dan tetap tidak akan masuk ke politik," tegas Milley dalam wawancara khususnya dengan NPR dikutip Bloomberg, Senin (12/10/2020).
"Militer AS tidak pernah memiliki andil dalam menentukan hasil pemilu AS. Sama sekali tidak ada," lanjutnya.
"Kami disumpah untuk mematuhi hukum dari pemerintahan sipil. Kami pastikan akan selalu begitu," jelasnya.
Pejabat militer senior lulusan Master Hubungan Internasional Columbia University itu menambahkan, pasukan militer hanya menjadi penjaga dan tidak pernah mencampuri proses pemerintahan sipil yang sedang berjalan.
Ketakutan akan adanya campur tangan militer dalam pilpres muncul setelah Presiden Donald Trump, yang merupakan capres petahana, menyebut, ia enggan menerima hasil pemilu jika kalah. Pengusaha real estate itu juga tidak menjanjikan pemindahan pemerintahan yang damai jika dia merasa dicurangi dalam pilpres.
Trump dikenal sangat mudah memerintahkan pasukan militer turun ke jalan jika dia merasa ada yang kacau. Hal ini sudah dia lakukan saat Paman Sam dilanda krisis rasial yang berujung aksi demo sampai ke depan Gedung Putih.
Trump memerintahkan pasukan Garda Nasional turun tangan untuk menenangkan massa. Pasukan militer bertugas murni untuk melindungi negara dan bukan digunakan sebagai petugas untuk melawan warga.
Pasukan militer AS dari pasukan Garda Nasional sudah beberapa kali dikerahkan untuk mengatur massa yang marah. Di era 1950-1960, pasukan militer dipakai untuk memastikan pemisahan antara kulit hitam dan putih.
Pada 1992, pasukan militer dikerahkan ke Los Angeles saat California dilanda demo rusuh. Namun, belum pernah dalam sejarah AS, tentara dikerahkan untuk mengamankan pemilu.
Politisi Demokrat khawatir Trump bakal menggunakan kekuatan kepresidenannya untuk mengerahkan pasukan militer untuk mengintimidasi pemilih Demokrat. Pasalnya, pada acara debat 29 September lalu, Trump mengatakan, pemilihnya harus ke TPS dan mengawasi pemilihan.
Gubernur New York Andrew Cuomo sempat merencanakan menggunakan pasukan militer untuk membantu di TPS-TPS. Mereka diminta berpakaian sipil dan melakukan tugas layaknya petugas TPS. Pasalnya, Cuomo khawatir memperkerjakan panitia TPS di tengah pandemi Covid-19.
"Tapi mereka (militer,Red) tetap tidak mencampuri urusan pemilihan suara," tegas Cuomo.
Politisi Demokrat, Michele Flournoy menyebut keputusan Cuomo berlebihan. Dia menyebut tugas tersebut masih bisa diserahkan ke petugas kepolisian. "Keberadaan personel militer di TPS akan mengintimidasi pemilih. Semoga saja tidak akan terjadi hal seperti itu dalam pemilu nanti," ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: