Setelah dipukul kenaikan cukai eksesif tahun lalu, industri hasil tembakau (IHT) harus kembali deg-degan dengan kabar rencana kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) yang beredar di media massa sebesar 19%.
Merespons hal itu, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti berharap isu kenaikan tarif CHT tidaklah benar. Ia meminta pemerintah memberikan waktu pemulihan bagi pelaku industri.
“Jangan sampai dihantam lagi dengan kenaikan cukai yang tinggi. Buat kami, kalau benar naik 19% itu tinggi sekali, sangat berat,” kata Muhaimin, dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (22/10/2020).
Baca Juga: Banyak Mudaratnya, AMTI Minta Presiden Pertimbangkan Wacana Kenaikan Cukai Rokok
Tidak dipungkiri, saat ini IHT sudah megap-megap dengan himpitan krisis ekonomi akibat pandemi COVID-19. Selain itu, IHT juga menanggung beban kenaikan cukai sebesar 23%, serta ketentuan minimum harga jual eceran (HJE) yang naik sebesar 35%.
Untuk itu, kabar besaran kenaikan tarif CHT yang menguat saat ini dinilai tidak memberikan waktu bagi pelaku industri untuk memulihkan iklim bisnisnya yang tengah porak-poranda. Muhaimin menyebut jikalau tarif cukai harus dinaikkan, ia berharap kenaikannya tidak sampai 10%.
“Kasih kami kesempatan untuk recovery lah. Kalau mau ada kenaikan ya yang wajar, sesuai dengan inflasi. Kalaupun naik jangan sampai 10 persen, 6 persen misalnya,” ujar Muhaimin.
Faktanya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan telah terjadi deflasi selama tiga kali berturut-turut pada kuartal III-2020 terakhir sebesar -0,05% pada September. Kemudian, BPS juga menyampaikan pertumbuhan ekonomi nasional kontraksi hingga 5,32% pada kuartal II-2020.
Artinya, sangat nyata bahwa dampak pandemi COVID-19 masih terus mendera perekonomian. Sehingga Muhamimin meminta pemerintah memberikan relaksasi bagi IHT untuk ‘sembuh’ dari kenaikan cukai tahun lalu dan juga pelemahan ekonomi saat ini.
Meskipun IHT telah mendapatkan sejumlah insentif dari pemerintah seperti penundaan pembayaran pita cukai serta izin operasional produksi, sejumlah pembatasan yang berlaku tetap berpengaruh pada penurunan volume produksi dan penjualan.
Tidak hanya memberatkan dari segi ekonomi, rencana kenaikan tarif CHT juga membayangi sektor ketenagakerjaan di IHT, khususnya pada segmen Sigaret Kretek Tangan (SKT). Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan, pada 2019 serapan tenaga kerja IHT mencapai 4,28 juta pekerja di industri manufaktur dan distribusinya serta 1,7 juta pekerja di perkebunan tembakau.
“Tentunya seperti biasanya ya, SKT kan menggunakan banyak tenaga kerja jadi harus ada perbedaan. Kalau tadi misalnya naik 6%, SKT enggak perlu naik karena harus lebih dilindungi,” ungkap dia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman