Macron Dinilai Berlebihan Hadapi Islam, Pengamat: Seperti Menyiram Bensin ke Api
Paris menunjukkan tanda-tanda yang berbeda dari biasanya. Gedung berbentuk hanggar pesawat dengan jendela kecil yang bertengger di dindingnya yang bergelombang itu kosong dan ditutup.
Di luarnya ada pemberitahuan resmi pemerintah Prancis. Masjid itu ditutup karena 'terlibat dalam gerakan Islamis' dan membagikan video di media sosial yang menyerang Samuel Paty, guru yang dibunuh oleh ekstremis.
Selasa (27/10) BCC melaporkan pemerintah Prancis menindak tegas gerakan radikal Islam untuk merespon pembunuhan Patty pada bulan ini. Dengan cepat dan tegas pemerintah Prancis menggelar penyelidikan, penutupan dan membuat rencana serta proposal yang terkadang sulit dilacak.
Baca Juga: Gawat, Prancis Minta Warganya Ekstra Waspada Hadapi Gelombang Amarah Kartun Nabi
"Ketakutan akan pindah sisi," kata Presiden Prancis Emmanuel Macron dalam pidatonya di Dewan Keamanan Nasional pekan lalu.
Pemerintah Prancis mengumumkan penggeledahan ke 120 rumah, membubarkan asosiasi yang dituduh menyebarkan Islam radikal, dan membuat rencana yang mengincar pendanaan teroris. Prancis juga memberikan bantuan baru untuk guru dan menekan media sosial untuk lebih efisien lagi dalam mengatur konten mereka.
Pemerintahan Presiden Macron tidak pernah melakukan tindakan sekeras ini sebelumnya. Meski sebelum pembunuhan Paty sudah sekitar 20 orang tewas dalam serangan teror, antara lain seorang petugas polisi, seorang perempuan muda yang dibunuh di stasiun kereta api dan konsumen pasar Natal.
Pengamat politik dan direktur perusahaan jajak pendapat IFOP Jérôme Fourquet yakin pembunuhan Paty berbeda karena korbannya adalah guru dan pembunuhannya sangat brutal. Maka pemerintah pun mengubah 'langkahnya'.
"Kami tidak lagi berhadapan dengan jaringan teroris, tapi teroris yang datang dari negara kami sendiri, individu terisolasi yang teradikalisasi," kata Fourquet.
"Pemerintah yakni responnya tidak hanya dengan penegakan hukum, mereka juga harus mengelola jaringan sosial dan asosiasi, karena kasus tragis menyorit seluruh jaringan yang menyebarkan ujaran kebencian di populasi, sistem harus berubah," tambahnya.
Ia mengatakan jajak pendapat IFOP dua tahun yang lalu menunjukkan sepertiga guru memilih 'menyesor dari diri sendiri' untuk menghindari konflik atas sekularisme. Ia yakin pemerintah benar untuk menentang apa yang menurutnya ancaman ideologis hukum Prancis.
Namun bagi sosiolog dari France's National Centre for Scientific Research Laurent Mucchielli 'reaksi berlebihan' pemerintah Presiden Macron dilatarbelakangi motif politik. Terutama untuk pemilihan umum 2022.
"Macron menyiram bensin ke api, dia tidak mau kalah manuver (on the back foot) dari kelompok sayap kanan dan ekstrim kanan, tujuan utamanya terpilih kembali pada tahun 2022, sehingga ia harus menduduki lahan sayap kanan, dan tema utama sejak akhir abad ke-19 adalah imigrasi dan keamanan," kata Mucchielli.
Dalam jajak pendapat pekan lalu ketua partai sayap kanan Marine Le Pen menjadi politisi yang paling dipercaya dalam menghadapi terorisme. Sementara Macron berada empat poin di belakangnya. Kedua politisi itu akan kembali berhadapan pada pemilihan presiden tahun 2022.
Keamanan menjadi titik kelemahan Macron, walaupun citranya di luar negeri kuat dan berhasil mereformasi perekonomian dalam negeri. Tetapi Marine Le Pen juga menilai ekspresi damai masyarakat Islam di Prancis sebagai ancaman terhadap identitas nasional.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: