Yulina Eva Riany, Dosen IPB University dari Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia (IKK-Fema), menyebutkan kebijakan sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau belajar dari rumah bagi seluruh siswa di Indonesia menimbulkan berbagai polemik bagi para siswa dan orang tua siswa di seluruh Indonesia.
Ia menjelaskan bahwa dalam penelitian yang dipublikasikan pada JAMA Pediatrics Journal dan dilakukan di Hubei China serta melibatkan 2.330 anak sekolah, membuktikan bahwa anak-anak usia sekolah yang mengalami karantina proses belajar akibat COVID-19 menunjukkan beberapa tanda-tanda tekanan emosional.
Bahkan penelitian lanjutan dari observasi tersebut menunjukan bahwa 22,6 persen dari anak-anak yang diobservasi mengalami gejala depresi dan 18,9 persen mengalami kecemasan. Hasil survei yang dilakukan oleh pemerintah Jepang juga menunjukkan hasil yang serupa, yaitu 72 persen anak-anak Jepang merasakan stres akibat COVID-19.
Baca Juga: Dekan Sekolah Vokasi IPB Bicara Pentingnya Jaga Ketahanan Pangan di Masa Pandemi
Dr Eva menambahkan hal serupa juga terjadi di Amerika Serikat. Investigasi yang dilakukan oleh Centre for Disease Control (CDC) menunjukkan bahwa 7,1 persen anak-anak dalam kelompok usia 3 hingga 17 tahun telah didiagnosis dengan kecemasan dan sekitar 3,2 persen pada kelompok usia yang sama menderita depresi.
Bahkan penelitian lainnya menunjukkan bahwa isolasi akibat COVID-19 ini menyebabkan kondisi kesehatan mental anak-anak berkebutuhan khusus, seperti Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), Autism Spectrum Disorder (ASD), dan disabilitas lainnya semakin buruk.
Di Indonesia sendiri, implementasi kebijakan pembatasan kegiatan pembelajaran di sekolah ini tentunya berdampak signifikan pada kesehatan mental para siswa meskipun dengan derajat yang bervariasi.
Data yang diperoleh dari survei penilaian cepat yang dilakukan oleh satgas COVID-19 (BNPB, 2020) menunjukkan bahwa 47 persen anak Indonesia merasa bosan di rumah, 35 persen merasa khawatir ketinggalan pelajaran, 15 persen anak merasa tidak aman, 20 persen anak merindukan teman-temannya, dan 10 persen anak merasa khawatir tentang kondisi ekonomi keluarga.
Kondisi ini apabila tidak diatasi tentunya akan menyebabkan hal yang lebih fatal. Contohnya, sebut saja MI (16), seorang remaja siswa kelas 2 SMA di Kota Gowa yang nekat untuk mengakhiri hidupnya dengan menenggak racun rumput (17/10/20) karena diduga mengalami depresi akibat tekanan pembelajaran jarak jauh yang dialaminya.
Sebelum meminum racun rumput tersebut, MI sempat mengeluh kepada temannya bahwa dia mengalami kesulitan dalam mengakses tugas belajar di sekolah akibat sinyal di area rumahnya yang tidak baik. Hal ini merupakan bukti nyata bahwa anak dan remaja yang mengalami pembatasan aktivitas belajar di rumah adalah kelompok rentan mengalami gangguan kesehatan mental.
"Melihat fenomena berbagai masalah kesehatan mental yang terjadi pada anak dan remaja di Indonesia di masa pandemi, diperlukan upaya strategis dalam mengevaluasi sistem pembelajaran jarak jauh sekaligus memberikan dukungan kesehatan mental bagi anak dan remaja. Penyediaan layanan dukungan sosial yang memberikan fasilitas layanan kesehatan mental (mental health) bagi para siswa melalui sekolah merupakan hal strategis yang perlu diperkuat di era pandemi saat ini. Dengan adanya penyediaan layanan ini, baik online maupun offline, baik melalui masyarakat maupun konseling sebaya, harapannya masyarakat dapat dengan mudah mengakses dukungan sosial jika diperlukan," ujarnya.
Pemberian layanan kesehatan mental bagi anak dan remaja juga dapat diperkuat oleh sekolah. Sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap proses pembelajaran jarak jauh, pihak sekolah selaiknya memperhatikan kondisi para siswanya, tidak hanya pada kualitas kemajuan pembelajarannya saja.
Akan tetapi, hal yang lebih penting adalah memberikan perhatian lebih atas keamanan, kondisi kesejahteraan mental anak dan hal lain terkait dengan tantangan yang dihadapi oleh anak dalam proses pembelajaran di rumah.
Penyediaan layanan kesehatan mental bagi anak dan remaja serupa telah diimplementasikan di berbagai negara dan berhasil menurunkan berbagai permasalahan terkait yang dialami oleh anak dan remaja akibat pandemi ini. Sebagai contoh, pemerintah China, Australia, maupun Jepang secara intensif menyediakan layanan konseling telephone (hotline), online, maupun offline bagi masyarakatnya sebagai pertolongan pertama pada masalah kesehatan mental di negara tersebut.
Sehingga permasalahan kesehatan mental kelompok rentan, khususnya anak dan remaja dapat teratasi dengan baik sebelum menyebabkan efek yang lebih serius.
Meskipun diyakini bahwa pengasuhan dan pendampingan belajar anak selama pandemi merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi keluarga, dan tidak satupun keluarga pernah mengalami ini sebelumnya, keluarga memiliki peran dan tanggung jawab utama dalam menyediakan bimbingan yang baik dalam proses belajar anak di rumah dan menjaga kesehatan mental anak selama pandemi.
Penguatan fungsi keluarga dalam mengasuh anak dan remaja serta mendampingi proses belajar jarak jauh di rumah menjadi sebuah hal vital yang harus dilakukan selama pandemi. Keluarga sebagai pihak yang paling tidak tersiapkan dalam menghadapi berbagai problematika selama pandemi adalah pihak yang paling strategis untuk dapat terus didampingi, baik oleh pemerintah maupun berbagai lembaga non-pemerintah lainnya.
Eva berkesimpulan bahwa pendampingan keluarga melalui penguatan kapasitas keluarga dengan implementasi strategi positif (seperti mendampingi anak belajar online di rumah) serta mengindentifikasi berbagai indikator permasalahan mental pada anak dipercaya merupakan cara efektif untuk meminimalisasi permasalahan terkait anak dan remaja di masa pandemi ini.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti