Besarnya likuiditas global merupakan faktor utama yang mendorong kenaikan aliran modal ke negara-negara berkembang, selain faktor prospek pertumbuhan yang lebih baik, serta kebijakan lalu lintas modal yang kondusif di sejumlah negara berkembang.
Volatilitas aliran modal ini berpotensi meningkatkan volatilitas dan tekanan terhadap nilai tukar, dan pada akhirnya dapat mempengaruhi stabilitas moneter dan sistem keuangan.
Dalam merumuskan respons kebijakan yang tepat untuk mengatasi volatilitas aliran modal dan nilai tukar, bank sentral pada umumnya melakukan monitoring terhadap likuiditas valuta asing, termasuk mengamati kecepatan perubahan nilai tukar serta pengaruh aliran modal terhadap harga aset, untuk menjamin pasar keuangan tetap berfungsi dengan baik.
Untuk menjaga stabilitas eksternal, beberapa bank sentral melakukan intervensi di pasar valuta asing apabila terjadi volatilitas nilai tukar yang berlebihan. Sementara itu, jumlah bank sentral yang menerapkan kebijakan makroprudensial untuk menjaga kestabilan sistem keuangan juga mulai mengalami kenaikan.
Demikian, intisari dari Laporan Capital Flows, Exchange Rate, and Policy Frameworks in Emerging Asia yang merupakan hasil kajian yang dilakukan oleh sebuah tim kerja beranggotakan 12 bank sentral anggota BIS (Bank for International Settlements) Asian Consultative Council (ACC), termasuk Bank Indonesia, yang diterbitkan pada hari ini (27/11/2020).
Baca Juga: Di Tengah Resesi, Modal Asing Masuk ke RI Rp3,81 Triliun
Adapun anggota ACC terdiri dari 12 bank sentral di kawasan Asia-Pasifik, yaitu: Australia, China, Hong Kong SAR, India, Indonesia, Japan, Korea, Malaysia, New Zealand, Filipina, Singapura, dan Thailand.
Laporan tersebut menyebutkan, sejalan dengan meningkatnya volatilitas aliran modal dan nilai tukar di negara-negara berkembang, BIS mengkoordinasikan penyusunan kajian tersebut guna melihat penggunaan kebijakan moneter, makroprudential, nilai tukar, dan manajemen aliran modal dalam mengatasi dampak kenaikan volatilitas aliran modal terhadap stabilitas nilai tukar.
"Pandemi COVID-19 juga menjadi stress-test bagi kerangka kebijakan bank sentral saat ini. Selain menerapkan berbagai kebijakan konvensional, bank sentral di kawasan Asia Pasifik juga menempuh kebijakan yang tidak biasa (unconventional) untuk memitigasi dampak krisis, menjamin kecukupan likuiditas di pasar keuangan, dan merelaksasi pengaturan sehingga tidak terjadi negative feedback loops antara sektor riil dan sektor keuangan," tulis laporan tersebut.
Dalam hal ini, koordinasi dan kerja sama yang erat antara Bank Sentral dan Pemerintah merupakan kunci dari efektivitas respons kebijakan dalam mengatasi krisis.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman
Tag Terkait: