Kabar Gembira, Covid-19 Rupanya Tekan Emisi CO2 Sebanyak 2,4 Miliar Ton
Sebuah penelitian terbaru mengungkap bahwa tanggapan global terhadap pandemi Covid-19 telah mendorong penurunan emisi CO2 tahunan terbesar sejak Perang Dunia Kedua.
Studi itu menunjukkan bahwa emisi tahun ini turun sekitar 7%.
Baca Juga: Kurangi Emisi Karbon, Indonesia Bakal Diguyur US$110 Juta dari Bank Dunia
Prancis dan Inggris mencatat penurunan terbesar akibat sejumlah kebijakan ketat dalam menghadapi gelombang kedua penularan virus corona.
Sebaliknya, China mengalami peningkatan besar menyusul penanganan virus corona sehingga emisi negara itu secara keseluruhan dapat meningkat tahun ini .
Penurunan karbon pada tahun 2020 merupakan yang terbesar dibandingkan tingkat penurunan sebelumnya.
Menurut tim Global Carbon Project, emisi karbon tahun ini turun 2,4 miliar ton.
Angka itu jauh melampaui tingkat penurunan yang tercatat pada tahun 2009 akibat resesi ekonomi global dengan hanya setengah miliar ton, maupun pada akhir Perang Dunia Kedua yang menyebabkan emisi turun sebesar satu milar ton.
Di seluruh Eropa dan Amerika Serikat, tercatat penurunan sekitar 12% sepanjang tahun, dan beberapa negara bahkan mencatat angka yang lebih besar.
Prancis mengalami penurunan sebesar 15% dan Inggirs turun 13%, menurut salah satu analisis.
"Alasan utamanya adalah bahwa kedua negara ini memiliki dua gelombang penguncian (lockdown) yang sangat ketat dibandingkan dengan negara-negara lain," kata Profesor Corinne Le Quéré, dari Universitas East Anglia, Inggris, yang berkontribusi dalam penelitian tersebut.
"Inggris dan Prancis memiliki banyak emisi yang berasal dari sektor transportasi dan umumnya lebih sedikit yang berasal dari industri dan sektor lainnya.
"Ini bahkan lebih terlihat di Prancis, karena begitu banyak produksi listrik mereka dari energi nuklir, jadi 40% emisi mereka berasal dari sektor transportasi."
Penerbangan di seluruh dunia mengalami dampak terbesar akibat kebijakan pembatasan dan diperkirakan pada akhir tahun ini, emisi dari sektor tersebut masih akan berada 40% di bawah di level tahun 2019.
Satu negara yang mungkin melawan arus tren adalah China.
Secara keseluruhan, tim peneliti memperkirakan bahwa negara tersebut akan mengalami penurunan emisi 1,7% tahun ini, tetapi beberapa analisis menunjukkan bahwa negara itu telah pulih dari Covid-19 sehingga produksi karbon secara keseluruhan mungkin telah meningkat.
"Semua kumpulan data kami menunjukkan bahwa China mengalami penurunan emisi yang besar pada bulan Februari dan Maret, namun sejumlah kumpulan data menunjukkan perbedaan dalam tingkat emisi menjelang akhir tahun 2020," kata Jan Ivar Korsbakken, peneliti senior di CICERO, yang terlibat dalam studi.
"Pada akhir 2020, China setidaknya hampir memiliki tingkat emisi harian yang sama seperti pada 2019, dan memang beberapa perkiraan kami menunjukkan emisi China mungkin benar-benar meningkat untuk tahun ini secara keseluruhan pada tahun 2020 dibandingkan dengan 2019, meskipun ada pandemi," tambahnya.
Para peneliti percaya bahwa penurunan dramatis yang dialami melalui respons terhadap pandemi mungkin menyembunyikan penurunan karbon jangka panjang, dimana lebih terkait dengan kebijakan iklim.
Pertumbuhan tahunan emisi CO2 global turun dari sekitar 3% pada tahun-tahun awal abad ini menjadi sekitar 0,9% pada tahun 2010-an. Sebagian besar perubahan ini disebabkan oleh perpindahan dari batu bara sebagai sumber energi.
"Pembahasan yang muncul sebelum tahun 2020 adalah apakah emisi CO2 fosil global menunjukkan tanda-tanda memuncak," kata Glen Peters, direktur riset di CICERO.
"Covid-19 telah mengubah diskusi untuk beralih ke soal menghindari peningkatan kembali emisi dan menanyakan apakah emisi telah mencapai puncaknya," katanya.
Semua peneliti yang terlibat dalam proyek ini setuju bahwa peningkatan emisi pada tahun 2021 hampir pasti.
Untuk meminimalkan kenaikan karbon, para ilmuwan mendesak tanggapan "hijau" daripada "coklat", yang berarti pendanaan pemulihan harus digunakan untuk proyek-proyek berkelanjutan dan bukan untuk bahan bakar fosil.
Mereka berpendapat bahwa upaya juga harus dilakukan untuk meningkatkan aktivitas berjalan kaki dan bersepeda di kota-kota dan dengan cepat beralih ke penggunaan kendaraan listrik.
Meskipun pada tahun 2020 terjadi penurunan lebih dari dua miliar ton CO2, para ilmuwan mengatakan bahwa untuk memenuhi tujuan Perjanjian Iklim Paris akan membutuhkan pemotongan hingga dua miliar ton setiap tahun untuk satu dekade kedepan.
"Meskipun emisi global tidak setinggi tahun lalu, ini masih berjumlah sekitar 39 miliar ton CO2, dan pasti menyebabkan peningkatan lebih lanjut dalam CO2 di atmosfer," kata ketua peneliti Prof Pierre Friedlingstein dari Universitas Exeter, Inggris.
"Tingkat CO2 di atmosfer, dan karenanya, iklim dunia, hanya akan stabil ketika emisi CO2 global mendekati nol."
Studi tersebut telah dipublikasikan di jurnal Earth System Science Data.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: