Kementerian Keuangan mencatat realisasi pendapatan negara di tahun 2020 mencapai Rp1.633,6 triliun atau 96,1% dari target Perpres 72/2020. Jika dibandingkan dengan capaian tahun 2019 yang sebesar Rp1.960,6, realisasi pendapatan negara tahun 2020 tersebut tumbuh negatif sebesar -16,7% atau anjlok Rp327 triliun.
"Penerimaan pajak (-19,7%) yang paling terpukul dampak dari pandemi di sisi lain karena pemerintah juga memberikan insentif pajak kepada UMKM dan dunia usaha yang terimbas pandemi Covid-19. Insentif diberikan dalam bentuk antara lain PPh 21 DTP; Pengurangan PPh ps 25; Restitusi PPN dipercepat; dan PPh final UMKM DTP," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers Realisasi Pelaksanaan APBN TA 2020 secara virtual di Jakarta, Rabu (6/1/2021).
Meski demikian, lanjut dia, penerimaan Kepabeanan & Cukai relatif lebih baik didukung kebijakan tarif cukai dan pengendalian rokok ilegal, sedangkan penerimaan PNBP ditopang oleh harga komoditas yang membaik di akhir tahun 2020. Adapun penerimaan pajak pada 2020 tercapai sebesar Rp1.070,0 triliun atau tumbuh -19,7% bila dibandingkan 2019. Sementara penerimaan kepabeanan & cukai tercatat tumbuh -0,3% menjadi Rp212,8 triliun.
"Sementara itu, realisasi penerimaan hibah mencapai Rp12,3 triliun terutama dipengaruhi oleh hibah dari dalam negeri langsung (Pemerintah Daerah) terkait penyelenggaraan Pilkada tahun 2020," ungkapnya. Baca Juga: Sri Mulyani Revisi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2020 Jadi Minus 2,2 Persen
Selanjutnya, realisasi belanja negara mencapai Rp2.589,9 triliun (94,6% dari pagu Perpres 72/2020), atau tumbuh 12,2% dari realisasinya di tahun 2019. "Hal ini sejalan dengan strategi ekspansif yang diambil Pemerintah untuk menahan laju perlambatan ekonomi akibat pandemi dengan melakukan peningkatan belanja yang diarahkan untuk penanganan dampak Covid-19 di bidang kesehatan, melindungi masyarakat terdampak, serta pemulihan ekonomi," kata Sri Mulyani.
Dalam realisasi belanja negara di tahun 2020 tersebut, realisasi belanja Pemerintah Pusat mencapai Rp1.827,4 triliun (92,5% dari pagu Perpres 72/2020), atau tumbuh 22,1% dari realisasinya di tahun 2019. Realisasi belanja pemerintah pusat tersebut meliputi belanja K/L sebesar Rp1.055,0 triliun (126,1% dari pagu Perpres 72/2020).
"Peningkatan kinerja realisasi belanja K/L tersebut antara lain dipengaruhi oleh realisasi bantuan sosial (bansos) yang mencapai Rp205,1 triliun atau sekitar 120,1 persen dari pagu Perpres 72/2020," jelasnya.
Realisasi bansos tersebut tumbuh 82,3 persen (yoy) dari periode yang sama tahun sebelumnya, terutama karena didorong adanya perluasan penyaluran bantuan sosial agar dapat maksimal dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat terdampak pandemi Covid-19.
Di sisi lain, kebijakan refocusing/realokasi belanja K/L, untuk mendukung pendanaan penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi, telah membawa belanja yang lebih efisien dengan memanfaatkan IT menuju adaptasi kebiasaan baru.
Sementara itu, realisasi belanja non K/L sebesar Rp772,3 triliun (67,8% dari pagu Perpres 72/2020), antara lain terdiri dari pembayaran bunga utang Rp314,1 triliun dan subsidi sebesar Rp196,2 triliun (102,2% dari pagu Perpres 72/2020).
Peningkatan realisasi subsidi didukung oleh pemberian diskon listrik, subsidi Bunga UMKM, stimulus KUR, insentif perumahan, dan Pajak Ditanggung Pemerintah yang menunjukkan kontribusi APBN dalam mendukung kesejahteraan masyarakat yang terdampak Covid-19.
Baca Juga: Utang Indonesia Bengkak, JK: Bisa-Bisa 40 Persen APBN Cuma untuk Bayar Bunga dan Cicilan
Realisasi anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) mencapai Rp762,5 triliun (99,8% dari pagu Perpres 72/2020), lebih rendah 6,2% dari realisasi di tahun 2019. Selain itu, adanya pandemi Covid-19 pada tahun 2020 juga dilakukan kebijakan relaksasi percepatan penyaluran TKDD dalam rangka mendukung pemulihan ekonomi di daerah, antara lain penggunaan anggaran infrastruktur yang diatur minimal 25% dari Dana Transfer Umum (DTU) direlaksasi untuk dapat digunakan dalam pencegahan dan penanganan pandemi Covid-19.
Dengan kondisi tersebut, kinerja APBN sebagai alat countercyclical untuk merespon dampak pandemi sampai dengan akhir tahun cukup terkendali dengan tetap menjaga defisit di bawah target Perpres 72/2020, yaitu sebesar Rp956,3 triliun (6,09% dari PDB).
Asal tahu saja, pandemi Covid-19 yang awalnya merupakan permasalahan kesehatan, secara cepat merambat menjadi pemicu permasalahan ekonomi dan sosial di tahun 2020. Perubahan signifikan terjadi pada APBN 2020 karena meningkatnya kebutuhan penanganan dampak kesehatan, perlindungan sosial bagi masyarakat terdampak, serta upaya pemulihan ekonomi domestik.
Perubahan postur APBN dilakukan dua kali, yaitu melalui Perpres 54/2020 dan kemudian diubah lagi menjadi Perpres 72/2020. Pemerintah menempuh langkah extraordinary untuk menghadapi pandemi Covid-19 dengan melebarkan defisit menjadi 6,34% terhadap PDB.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman