Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Uang Kuliah Mahal dan Politik Pendidikan yang Melanggar Konstitusi

Oleh: Prof. Didik J Rachbini, MSc. PhD, Rektor Universitas Paramadina

Uang Kuliah Mahal dan Politik Pendidikan yang Melanggar Konstitusi Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Mengapa UKT mahal? Karena alokasi anggaran pendidikan tinggi di Kemendikbud (UI, UGM, ITB, UNDIP, UB, dll) hanya kebagian 1,1 persen (Rp7 triliun) dari total anggaran 20 persen yang harus dialokasikan kepada sektor pendidikan secara keseluruhan. Perguruan tinggi negeri dipaksa untuk mencari anggaran sendiri dengan cara mengeruk uang dari mahasiswa, sehingga pendidikan tinggi tidak lebih dari pasar: “ada uang ada barang”.

Perguruan tinggi negeri akhirnya melupakan kualitas dan tugas untuk membangun daya saing bangsa, mandek untuk mencari inovasi teknologi untuk kemajuan, dan tertinggal dalam riset mendalam.  Mereka kemudian menumpuk mahasiswa untuk melakukan pola pengejaran ala kursus-kursus yang lazim ada di banyak kota di Indonesia. Karena itu, setidaknya 10-20 universitas utama Indonesia hanya menjadi universitas kelas underdog di Asia, apalagi di dunia. Tidak usah dibandingkan dengan NUS di Singapura yang memiliki peringkat 8 dunia, bahkan dengan Malaysia (UKM) saja ketinggalan jauh. 

Jadi, dosen dan mahasiswa Indonesia mesti tahu bahwa alokasi untuk pendidikan tinggi memang tidak mendapat perhatian yang memadai.  Atau bahkan, bisa dikatakan tidak sama sekali diperhatikan dengan baik dan wajar sebagaimana amanat konstitusi, pasal 31 UUD 1945, warga negara berhak mendapat pendidikan yang baik.

Apalagi perguruan tinggi swasta, bukan hanya tidak diperhatikan tetapi justru dibedakan statusnya, dianaktirikan, dan ada perlakuan semacam “rasisme pendidikan tinggi”. Jadi, ribuan perguruan tinggi yang didirikan oleh inisiatif masyarakat, tanpa dukungan dana negara, tidak mendapat kucuran anggaran pendidikan tersebut kecuali secuil anggaran pengabdian masyarakat atau penelitian, yang tidak pasti. Kadang ada dan kadang tidak.

Baca Juga: Kuliah Dinilai Tersier, Wapres: Kalau Tak Perguruan Tinggi, Tidak Unggul

Kementrian lain atau lembaga lain di luar Kementerian Pendidikan telah memakan dana tersebut empat kali atau 400 persen lebih banyak dari perguruan tinggi negeri di bawah Kemendikbud.  Jumlahnya sangat besar, yakni Rp32 triliun. Ini merupakan bentuk politik pendidikan tinggi yang anomali dan menyimpang. 

Bahkan setiap mahasiswa di kementrian seperti ini ada mark up gila-gilaan karena ratio biaya APBN per mahasiswa di kementrian-kementrian ini jauh lebih tinggi daripada perguruan tinggi negeri di bawah Kemendikbud, yang diperkirakan dan ada indikasi mencapai Rp60 juta per mahasiswa. 

Sementara itu, perguruan tinggi negeri lain di bawah kemendikbud hanya Rp10 juta atau Rp15 juta per mahasiswa. Ini jelas merupakan praktik mark up anggaran yang tidak wajar.

Perguruan tinggi negeri di bawah Kemendikbud mengerahkan tenaga mencari uang dari mahasiswa sehingga uang kuliah mahal. Sementara itu, perguruan tinggi negeri di bawah kementrian lain tinggal terima dana APBN dan foya-foya dengan mark up dari dana APBN tersebut. 

Saya mengusulkan perguruan tinggi di luar Kemendikbud pada jurusan umum lebih baik dibubarkan saja atau bergabung dengan Kementerian Pendidikan. Keahlian seperti akuntansi, ilmu politik pemerintahan, ilmu sosial, kebijakan publik, dan sejenisnya sudah tidak langka lagi dan bisa dihasilkan oleh perguruan tinggi pada umumnya. Ini dilakukan agar tidak ada lagi keistimewaan anggaran yang berlebihan. Kementerian tersebut fokus pada tugas pokoknya, yang kebanyakan juga bermasalah. 

Baca Juga: Soal Kenaikan Biaya Kuliah, Wapres: Pemerintah Tak Mungkin Tanggung Seluruhnya

Semua hal yang memprihatinkan ini bisa dilihat bagaimana alokasi anggaran pendidikan tinggi dan pendidikan secara keseluruhan, yang salah sasaran. Alokasi anggaran yang diamanatkan konstitusi sudah jelas, yakni 20 persen untuk pendidikan. Dari 20 persen dana pendidikan atau Rp665 triliun tersebut, lebih dari separuh tersebar ke daerah dan desa dengan alokasi untuk nonopendidikan dan pengeluaran yang tidak jelas atau tidak terkait dengan pendidikan.

Bahkan, selain dana pendidikan yang tersebar acak tidak jelas dan banyak penggunaannya untuk bukan tujuan pendidikan, ada dana yang tidak digunakan dan disimpan, yakni sebesar Rp47,3 triliun. Artinya, jika tidak digunakan maka bisa diartikan tidak memiliki manfaat sama sekali atau nol manfaat untuk pendidikan.

Sesuai amanat pasal 31 UUD 1945, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Untuk mendapat pendidikan tersebut, maka amanat konstitusi tegas, yakni memandatkan pemerintah sekurang-kurangnya 20 persen dialokasikan untuk pendidikan. Tetapi fakta di lapangan seperti uang kuliah mahal, protes mahasiswa Indonesia, perguruan tinggi negeri tidak mendapat alokasi yang memadai, ada indikasi mark up biaya pendidikan tinggi di luar Kemendikbud, dan banyak masalah alokasi 20 persen ini menandakan terjadinya penyimpangan politik pendidikan. 

Hal ini melanggar konstitusi dan mungkin menjadi titik lemah di politik nasional karena bisa dipakai sebagai pintu masuk pemakzulan di kala pemerintah lemah. Masalah ini bisa ditarik sebagai pelanggaran atas konstitusi, yakni pasal 31 UUD 1945.

Sebaiknya pemerintah baru memikirkan carut marut politik pendidikan seperti sekarang ini, khususnya politik pendidikan tinggi sehingga perguruan tinggi negeri memiliki arah. Alokasi dana yang menyimpang mesti diperbaiki. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: