DPR kembali mengutak-atik Undang-Undang (UU) Pemilu. UU Pemilu yang baru disahkan pada 21 Juli 2017 kembali dibongkar. Di dalamnya, DPR mau memasukkan aturan-aturan baru. Di antaranya, akan mewajibkan calon presiden, calon gubernur, hingga calon bupati/wali kota untuk masuk partai politik (parpol). Juga bakal ada larangan mantan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mencalonkan diri. Duh, otak DPR aneh-aneh nih.
Saat ini, draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu bikinan DPR sudah mulai dibahas di Senayan. Di dalamnya ada 740 pasal. RUU ini mengatur banyak hal. Termasuk Pilkada. Sebab, rencananya, Pilkada akan digelar serentak dengan Pilpres pada 2024.
Syarat untuk calon presiden-calon wakil presiden dan calon kepala daerah di Pasal 182 Ayat (2) dd. Dalam Pasal tersebut dijelaskan bahwa syarat calon presiden-calon wakil presiden, calon gubernur-calon wakil gubernur, hingga calon bupati/wali kota-calon wakil bupati/wakil wali kota, yang diusung parpol harus menjadi anggota parpol. Sedangkan calon kepada daerah dari jalur independen, boleh bukan anggota parpol.
Baca Juga: Eks HTI Dilarang Jadi Capres hingga Legislatif, Begini Kata DPR
Kalau pasalnya disahkan, di Pilpres 2024, tidak boleh lagi ada calon seperti KH Ma’ruf Amin, yang bukan anggota parpol. Begitu juga untuk Pilkada, tidak boleh lagi ada calon seperti Anies Baswedan atau Ridwan Kamil, yang bukan anggota parpol. Jika mereka tetap mau nyalon, harus masuk parpol dulu.
Untuk larangan mantan anggota HTI nyalon, tertera secara gamblang di Pasal 182 ayat (2) huruf ii. Mantan anggota HTI diperlakukan sama dengan mantan anggota PKI. "Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G.30.S/PKI dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)," demikian bunyi pasal itu.
Para calon yang akan maju di Pemilu 2024, wajib melampirkan surat keterangan tidak terlibat HTI dari Kepolisian. Kewajiban tersebut tertuang dalam Pasal 311, Pasal 349, dan Pasal 357.
Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid menilai, aturan calon presiden dan calon kepala harus menjadi anggota parpol itu rasional. Sebab, jabatan pemimpin negara merupakan jabatan politik. "Saya kira itu rasional. Sebab, selama ini caleg juga dipersyaratkan memiliki kartu anggota partai. Itu memang jabatan politik,” kata Wakil Ketua Umum PKB ini, kemarin.
Menurutnya, aturan tidak akan membatasi hak masyarakat maju dalam kontestasi politik. Sebab, jika akan maju, tinggal masuk parpol. Jazilul menganggap, aturan ini juga menjadi tantangan bagi parpol. Parpol harus memberi kesempatan yang luas bagi setiap orang yang ingin menjadi pemimpin di Tanah Air.
Pandangan berbeda disampaikan Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini. Dia menganggap, persyaratan tersebut kurang proporsional. "Kalau di pilpres, ketentuan tersebut kurang proporsional. Sebab, pencalonan pilpres tidak tersedia dari jalur perseorangan," kata Titi.
Bila persyaratan itu mau diterapkan bagi capres/cawapres, Titi menganggap, seharusnya persyaratan ambang batas pencalonan dihapuskan. Hal itu bertujuan untuk membuka keran pencalonan yang lebih inklusif.
Baca Juga: Komisi II DPR Jelaskan 'Eks HTI Dilarang Ikut Pemilu': Logis
Soal eks anggota HTI, anggota Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin menjelaskan, hal itu disadari karena ideologi HTI yang dianggap bertentangan Pancasila. Pemerintah juga telah menyatakan HTI sebagai organisasi terlarang. "Hal tersebut fundamental bagi keberlangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kita," tutur dia.
Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan tidak setuju dengan pelarangan mantan anggota HTI nyalon di pemilu. Dia pun tidak setuju UU Pemilu diutak-atik. Menurutnya, UU Pemilu masih relevan untuk digunakan sampai 4 pemilu ke depan. Dia pun menegaskan, PAN masih mendukung UU Pemilu yang berlaku saat ini.
“Biar saja ini dulu, (UU Pemilu lama) pakai dulu. Saya sesuai Undang-Undang ini saja (tidak ada pelarangan mantan anggota HTI)," katanya.
Politisi PKS Bukhori Yusuf juga tak setuju hak eks anggota HTI nyalon di Pemilu dicabut. Menurutnya, memilih dan dipilih dalam Pemilu merupakan hak dasar warga negara Indonesia. "Dia terlepas HTI atau bukan HTI, hak sebagai warga negara untuk memilih dan dipilih itu absolut tidak bisa diambil paksa oleh siapa pun," kata Bukhori.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: