Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Curiga Kudeta Demokrat demi Tiga Periode Jabatan Presiden

        Curiga Kudeta Demokrat demi Tiga Periode Jabatan Presiden Kredit Foto: Antara/Endi Ahmad
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Digelarnya Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang yang berujung pada terpilihnya Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko sebagai ketua umum Partai Demokrat dinilai bukan sekadar peristiwa pengambilalihan kepemimpinan sebuah partai politik. Dalam konteks yang lebih luas, kudeta Demokrat diduga sebagai upaya memuluskan rencana kekuatan politik untuk memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode lewat amandemen UUD 1945.

        Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menduga ada maksud terselubung di balik upaya pengambilalihan Partai Demokrat. Pangi khawatir salah satu tujuannya agar Joko Widodo (Jokowi) dapat menjadi Presiden untuk ketiga kalinya.

        Pangi merasa prihatin atas pihak Istana yang mengabaikan upaya Moeldoko merebut kepemimpinan Partai Demokrat. Menurutnya, hal itu memunculkan spekulasi di masyarakat akan maksud pihak Istana.

        Baca Juga: Politikus Demokrat Rongrong Moeldoko Mundur dari Ketum Abal-abal

        "Kita juga layak bertanya dan patut curiga agenda apa yang sedang di desain pemerintah? Mungkinkah amandemen UUD 1945 terutama kaitannya dengan periode jabatan presiden yang mau ditambah menjadi tiga periode? Apa pun agendanya, kita layak curiga karena cara-cara culas sudah pasti tujuannya akan merugikan kita semua," kata Pangi dalam keterangan pers yang diterima Republika, Senin (8/3).

        Pangi menilai, manuver politik Moeldoko patut dicurigai bukan hanya demi kepentingan pribadinya. Ia malah menyinggung kemungkinan bahwa Moeldoko cuma sekadar alat guna mencapai tujuan utama.

        "Apakah dengan langkah sembrono dan ugal-ugalan itu Moeldoko mau jadi calon presiden 2024? Atau beliau melakukan itu semua atas restu Istana dan Moeldoko hanya pion untuk memuluskan ambisi politik yang sedang berkuasa?" sindir Pangi.

        Dalam sebuah diskusi daring pada Kamis (12/3), politikus Partai Gerindra Arief Poyuono juga menyebut soal kemungkinan tiga periode masa jabatan Presiden Jokowi. Menurutnya, hal tersebut ditandai dengan dilibatkannya putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dan menantu Presiden Jokowi, Bobby Nasution pada pemilihan kepala daerah (pilkada) 2020 lalu.

        "Tapi memang kalau saya melihat ke arah sana untuk tiga periode itu sebenarnya ada wacana kesana, test on the waternya itu sudah terjadi itu di pilkada mantu dan anaknya bagaimana seluruh partai itu bisa mendukung anaknya dan mantunya, hanya ditinggalkan dua (partai) sebagai syarat saja," kata Arief dalam sebuah diskusi daring, Kamis (11/3).

        Menurutnya, peluang Jokowi untuk merasakan masa jabatan presiden menjadi tiga periode sangat terbuka. Sebab, menurutnya, hampir seluruh partai politik kini berada dalam kekuasan Jokowi.

        "Semua alatnya Jokowi itu ada untuk melakukan, mengubah menjadi tiga periode. Baik di media sosialnya, pasukan media sosialnya, parpolnya sudah ada di parlemen," tuturnya.

        Eks wakil ketua umum Partai Gerindra itu menyerahkan kembali keputusan untuk mengubah masa jabatan presiden kepada Jokowi. Namun, ia meyakini Jokowi tidak akan setuju terkait wacana tersebut.

        "Jadi menurut saya pada akhirnya ini bergantung pada seorang Jokowi apakah dia emang kesemsem untuk tiga periode atau tidak karena semua alatnya, semua medianya Jokowi bisa melakukan untuk mengubah masa jabatan presiden yang terpilih sebagai presiden menjadi tiga kali," ungkapnya.

        Adapun, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai, bahwa godaan untuk memperpanjang masa jabatan presiden merupakan godaan tertinggi sistem presidensial. Setidaknya hal tersebut pernah terjadi pada dua presiden Indonesia terdahulu, Soekarno dan Soeharto.

        Adanya fakta sejarah tersebut, tidak menutup kemungkinan bahwa hal yang sama juga menggoda Jokowi saat ini.

        "Bukan tidak mungkin godaan yang sama kemudian mengalir ke diri presiden Jokowi," kata Feri dalam sebuah diskusi, Kamis (11/3).

        Lebih lanjut Feri menjelaskan, godaan tersebut mungkin saja diambil Jokowi mengingat Istana kerap mengendalikan banyak hal yang menjadi kritik publik luas. Jokowi bersama koalisinya dianggap bisa mengantisipasi kritik publik seperti soal UU KPK, KUHP, dan yang terbaru omnibus law UU Cipta Kerja.

        "Apa saja kritik publik, kekuatan politik sebesar apapun ujungnya mampu dikendalikan oleh pemerintah. Ketika itu saya pikir sudah jadi pemahaman di sekeliling presiden bahwa presiden mampu mengendalikan banyak hal," ungkapnya.

        Selain itu, Feri menambahkan, godaan untuk memperpanjang jabatan presiden menjadi tiga periode tidak hanya milik Jokowi, tetapi juga bisa datang dari orang-orang di lingkaran Istana yang ingin melanggengkan kekuasaan. Menurutnya, orang-orang di sekitar Jokowi dinilai bisa mempengaruhi Jokowi agar mau melanjutkan kepemimpinannya menjadi tiga periode dengan menyampaikan berbagai alasan logis.

        "Kalau jadi tiga periode dipastikan akan ada banyak hal yang dilakukan oleh kelompok presiden saat ini. Mungkin setelah tiga periode akan ada bicara empat periode karena kekuasaan itu selalu menggoda yang kemudian tidak akan luput dari presiden Jokowi dan orang-orang di lingkarannya untuk tergoda," ucapnya.

        Selain inkonstitusional, Feri mengatakan, memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode hanya akan membuat regenerasi poltik menunggu dengan jarak yang panjang. Padahal Undang-Undang Dasar 1945 menyebut bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama di dalam pemerintahan.

        "Jangan sampai presidennya itu-itu terus dan konstitusinya berbeda dari prinsip yang dikehendaki undang-undang dasar" kata dia.

        Jhoni Allen Marbun, salah satu penggagas KLB Deli Serdang membantah tudingan yang menyebut Kepala KSP Moeldoko yang terpilih sebagai ketua umum Partai Demokrat versi KLB adalah orang yang mewakili Istana. Menurut Jhoni, adalah keinginan Moeldoko pribadi yang menjanjikan harapan bagi perbaikan dan kejayaan bagi partai berlambang bintang mercy itu.

        "Lebih karena kepribadiannya yang sangat simpatik menghargai orang dan menghargai bawahannya. Itu yang membuat kami (kader) mau dirinya jadi ketua umum," ujar Jhoni lewat keterangan videonya, Senin (8/3).

        Jhoni menjelaskan, inisiatif awal pendekatan Moeldoko datang dari kader-kader di internal partai. Jhoni menyebut, banyak kader yang tertarik dengan figur dan sosok seorang Kepala KSP itu.

        Baca Juga: Gatot Nurmantyo Bongkar Salah Satu Rahasia KLB Demokrat di Deli Serdang

        "Kamilah yang datang meminang. Kami melihat Jenderal yang sangat potensial dan tidak memiliki kecacatan," ujar Jhoni.

        Ia berharap tak ada lagi pihak yang mengkait-kaitkan keterpilihan Moeldoko dengan pihak Istana. Sebab menurutnya, tak ada alasan yang kuat untuk menyeret keterkaitannya dengan keterpilihan mantan Panglima TNI itu.

        "Tidak ada kaitannya terhadap jabatan Moeldoko," ujar Jhoni.

        Pihak KSP juga menepis tudingan adanya keterlibatan Presiden Jokowi dalam manuver politik Kepala KSP Moeldoko. KSP menegaskan, bahwa sikap Moeldoko merupakan keputusan pribadi yang tidak ada sangkut pautnya dengan presiden.

        Tenaga Ahli Utama KSP, Ali Mochtar Ngabalin menyampaikan, pihak istana kepresidenan atau Presiden Jokowi sekalipun tidak ada tendensi dan intervensi ke partai politik. Menurutnya, langkah politik Moeldoko adalah keputusan pribadi yang dijamin undang-undang (UU).

        "Sikap, pikiran, dan pandangan beliau untuk aktif di Partai Demokrat adalah sikap pribadi. Itu sebabnya, kenapa saya menolak orang-orang yang mengaitkan sikap pribadi ini dengan keterlibatan Presiden Joko Widodo," ujar Ngabalin, Senin (8/3).

        Pada akhir 2019 lalu, Jokowi pernah bersuara terkait wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Menurut Jokowi, wacana tersebut dimunculkan karena ada pihak yang ingin menjerumuskannya hingga mencari muka kepadanya.

        Kendati demikian, ia enggan menyebut lebih detil siapa pihak yang ingin menjerumuskan dengan wacana penambahan masa jabatan presiden itu.

        "Kalau ada yang usulkan itu, ada tiga menurut saya. Satu ingin menampar muka saya, ingin cari muka, menjerumuskan. Itu saja," ujar Jokowi saat berbincang dengan awak media Istana di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (2/12).

        Jokowi menyampaikan, amandemen UUD 1945 hanya diperlukan untuk urusan haluan negara. Namun, wacana yang muncul saat ini justru sebaliknya.

        "Gini ya, sejak awal sudah saya sampaikan, saya ini produk pemilihan langsung sehingga waktu ada keinginan amandemen apa jawaban saya? Apa enggak bisa amandemen itu hanya dibatasi untuk urusan haluan negara. Sekarang kenyataannya begitu kan, presiden dipilih MPR, Presiden tiga periode," jelas dia.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: