Parlemen ASEAN Dorong Negara Anggota Serius Tanggapi Myanmar karena Situasi...
Para anggota parlemen ASEAN, Senin (22/3/2021), mendesak para pemimpin di Asia Tenggara agar bertindak soal Myanmar. Menurut mereka, para pemimpin harus bertemu dan merumuskan "tanggapan yang kuat dan tegas" terhadap kekerasan yang terus meningkat dilakukan militer Myanmar terhadap para pengunjuk rasa.
"Militer Myanmar membunuh orang setiap harinya. Kami menyambut jika ada pernyataan, namun itu sia-sia kalau menghadapi peluru militer," ujar Charles Santiago, anggota parlemen Malaysia yang mengetuai ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR), yang dimuat di laman resmi APHR.
Baca Juga: Aksi Protes Memanas, Aktivis Myanmar Gaungkan Demonstrasi Lebih Besar
"ASEAN dan PBB harus menyatukan kekuatan untuk mengkoordinasikan tanggapan yang kuat dan tegas sebelum militer menjadi lepas kendali. Ini saatnya rakyat Myanmar yang pemberani merasakan bahwa ada orang di luar sana yang melindungi mereka," kata Santiago.
APHR juga mendesak agar ASEAN mempertimbangkan untuk mengirim delegasi bersama dengan Utusan PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener. Tugasnya adalah memantau situasi dan membantu perundingan untuk penyelesaian yang demokratis dan sesuai prinsip hak asasi manusia (HAM).
"Tatmadaw mengandalkan 'negara tetangganya yang bersahabat' untuk melawan isolasi dari komunitas bangsa dunia. Namun, ini saatnya bagi para tetangga untuk memberi pesan jelas bahwa mereka tidak bisa menoleransi rezim brutal yang berpikir bahwa mereka tak terjamah hukum," kata Kasit Piromya, mantan anggota parlemen Thailand yang juga anggota APHR.
Sementara itu Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan dijadwalkan berkunjung ke Brunei, Senin. Saat ini Brunai mendapat giliran sebagai ketua ASEAN. Balakrishnan juga dijadwalkan ke Malaysia dan Indonesia. Keduanya sebelumnya mendorong sidang darurat ASEAN.
Militer Myanmar melakukan kudeta pada 1 Februari dengan alasan telah terjadi kecurangan dalam pemilihan umum pada 8 November lalu. Militer menahan Aung San Suu Kyi, pemimpin partai pemenang pemilu, National League for Democracy (NLD). Militer juga menahan Presiden Myanmar Win Myint dan sejumlah petinggi lain.
Organisasi independen Assistance Association for Political Prisoners (AAPP) pada Senin memverifikasi sekurangnya 250 orang tewas sejak unjuk rasa dimulai 1 Februari. Namun, AAPP mengatakan, angka sebenarnya bisa lebih tinggi.
AAPP juga menyebutkan, 2.665 orang dipenjara atau didakwa sejak kudeta. Sedangkan 2.290 orang lainnya masih ditahan atau menanti putusan pengadilan.
Cara baru berdemo
Para pengunjuk rasa Myanmar memiliki cara baru untuk menunjukkan sikap menentang kudeta militer, Senin. Di Yangon, mereka melepaskan ratusan balon merah ke udara sebagai simbol dukungan kepada Suu Kyi. Sebagian pengunjuk rasa memakai kaus merah yang menjadi simbol warna NLD.
Pengunjuk rasa menyerukan dunia internasional untuk membantu mereka dengan doktrin Responsibility to Protect atau dikenal juga sebagai R2P, yaitu terkait isu-isu genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kertas bertuliskan R2P dikaitkan pada balon-balon merah yang dilepas pengunjuk rasa. Sedangkan para pengunjuk rasa lain memilih membunyikan klakson kendaraan mereka sebagai tanda protes.
Suu Kyi dan para pemimpin militer berasal dari etnis mayoritas Bamar. Harapan kaum minoritas pupus karena nasib mereka tak banyak berubah meski Myanmar di bawah kepemimpinan Suu Kyi sebagai state counsellor.
Namun, pada Minggu, 77 lembaga swadaya masyarakat di Negara Bagian Rakhine mengeluarkan pernyataan bersama menentang kudeta militer. Perkembangan terbaru ini menjadi tanda etnis minoritas bersatu menentang militer. Kantor berita Reuters menyebutkan junta militer Myanmar masih belum memberikan jawaban ketika dimintai komentarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto