Webinar MWA UI Seri 2: Sinergi Triple Helix Upaya Pemulihan dan Penanganan Pandemi Covid-19
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala BRIN Prof. Bambang Brodjonegoro, SE., MUP, Ph.D memaparkan kerangka riset dan inovasi nasional dengan pengantar obsesi Kemristek/BRIN, yaitu mengubah paradigma pembangunan ekonomi Indonesia dari resource-driven economy menjadi innovation-driven economy, yaitu bangsa yang inovatif, menguasai IPTEK, mandiri, dan berdaya saing global. Prof. Bambang menekankan bahwa perlu dilakukan sinergi triple-helix yang kuat antara akademisi, pemerintah, dan industri.
Kemristek melakukan pendekatan multidisiplin yang melibatkan berbagai aktor triple-helix dalam upaya pemulihan ekonomi dan masyarakat melalui berbagai program percepatan penanganan pandemi Covid-19 dan less contact economy. Prof. Bambang mengungkapkan bahwa Kemristek telah menginisiasi Konsorsium Riset dan Inovasi yang telah dilaksanakan mulai Maret 2020. Konsorsium ini merupakan kolaborasi antara pemerintah, universitas, Lembaga Pemerintah Nonkementerian (LPNK), industri, diaspora, asosiasi profesional, dan rumah sakit. Baca Juga: Perang Lawan Covid-19, Ketahanan dan Kemandirian Kesehatan Kuncinya!
Dalam umur konsorsium yang relatif singkat, telah lahir lebih dari 60 produk inovasi yang sedang dan telah dikembangkan untuk penanggulangan Covid-19. Beberapa produk inovasi tersebut diantaranya adalah alat kesehatan untuk skrining Covid-19 yaitu PCR Test Kit, Uji CePAD (Covid-19 Antigen) dari Universitas Padjadjaran, GeNose dari Universitas Gadjah Mada, dan Floked Swab dari UI. Lalu untuk alat kesehatan pendukung, seperti ventilator, telah dikembangkan oleh beberapa universitas, seperti Institut Teknologi Bandung, UI, dan yang lain. Baca Juga: Linimasa Vaksin Covid-19 AstraZeneca di Indonesia | Infografis
“Untuk inovasi terapi, terdapat Convalescent Plasma dan Mesenchymal stem cells, yakni inovasi dari UI yang dapat memperbaiki jaringan paru-paru dan bisa meningkatkan kesembuhan 2,5 kali lipat khusus pasien Covid-19 dengan kategori berat. Inovasi ini diharap dapat menjawab kebutuhan masyarakat Indonesia selama masa pandemi dan untuk kebutuhan jangka panjang,” ujar Prof. Bambang.
Presiden Direktur PT Dexa Medica Ir. Ferry A. Soetikno memaparkan kontribusi Dexa Group yang ikut membangun industri bahan baku obat di Indonesia. Menurutnya, pasar farmasi Indonesia memiliki growth potential yang menjanjikan. Dalam kaitan dengan sumber bahan baku obat, ini merupakan peluang untuk bisa menyuplai pasar dengan bahan baku yang lebih kompetitif dengan mempertahankan mutu dan lain sebagainya. “Kesadaran akan hidup sehat juga meningkat, sehingga kebutuhan konsumen terhadap suplemen preventif memiliki peluang yang besar. Urgensi untuk membangun kemandirian industri bahan baku obat tidak bisa ditawar lagi. Saya berterima kasih kepada Bapak Menristek yang telah mengayomi kita membentuk platform/atmosfer yang melibatkan banyak stakeholder,” ujarnya.
Dexa mengembangkan bahan baku obat herbal dari biodiversitas Indonesia yang bersumber dari kekayaan sumber daya alam hayati dengan berbasis riset dan didukung oleh medical evidence-based. Ferry menjelaskan bahwa Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) adalah obat yang akan dipakai untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan pasar yang lain. OMAI terbuat dari bahan alam berupa ekstrak/fraksi tanaman asli dan tumbuh di Indonesia. Saat ini OMAI telah memperoleh status sebagai Fitofarmaka atau Obat Herbal Terstandar.
Pada kesempatan yang sama, Prof. Dr. dr. Budi Wiweko, Sp.OG-KFER, MPH, Wakil Direktur IMERI-FKUI, menjelaskan tentang teknologi mahadata (big data) yaitu sebuah potensi pelayanan kesehatan di masa mendatang. Ia memaparkan bahwa di masa depan, big data akan menjadi suatu jenis pelayanan kesehatan baru. Sumber big data dalam bidang kesehatan diperoleh dari rumah sakit, laboratorium, emergency, disease registries, Biobank, dan lain sebagainya.
Perpaduan perilaku, manusia, teknologi dan big data akan menghasilkan apa yang disebut “Kedokteran Presisi” yaitu kedokteran yang menyesuaikan dengan kebutuhan pasien, yang dapat memprediksi masa depan kesehatan pasien. Big data yang telah diolah dapat menjadi ‘model’ dan dapat digunakan untuk pengobatan. Misalnya, dari big data dapat diketahui bahwa dalam 10 tahun ke depan, seseorang dapat mengidap suatu penyakit seperti cenderung rentan darah tinggi, atau rentan mengidap penyakit kanker payudara, dan lain-lain. Ini dapat dipakai sebuah negara untuk mengelola kesehatan daerahnya melalui apa yang disebut “presisi public health”. Tenaga kesehatan di masa depan akan sangat dibutuhkan kemampuan dalam bidang teknologi, perilaku manusia, dan pemahaman data.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Lestari Ningsih