Wacana Kementerian BUMN untuk membentuk holding BUMN Ultra Mikro yang terdiri dari PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Pegadaian (Persero), dan PT Pemodalan Nasional Madani (Persero) atau PNM dinilai salah kaprah oleh sejumlah kalangan.
Salah satunya adalah Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati yang menilai kebijakan pembentukan holding ini tidak tepat dilakukan.
"Kebijakan holding BUMM ini tidak tepat untuk dilakukan karena bisa berdampak negatif bagi kepentingan negara dan bisa mengesampingkan kewenangan rakyat," ujarnya dalam diskusi virtual, yang diselenggarakan Forum Jurnalis Ekonomi dan Bisnis (FORJES), Kamis (8/4/2021).
Menurut Anis, pembentukan holding ultra mikro akan membuat PT Pegadaian dan PT PNM menjadi anak usaha BUMN dan PT BRI akan menjadi perusahaan besarnya. Baca Juga: Duh... Komisi XI DPR Belum Setujui Holding Ultra Mikro
"Artinya apa? bahwa kalau ini benar-benar holding yang muncul adalah BRI saja, yang di mana ketidakadaan kepemilikan secara langsung bisa membuat kekayaan negara dan kepentingan hajat banyak rakyat terganggu. Padahal ini sudah dimanatkan dalam Undang-udang Dasar (UUD) 1945," ucap dia.
Asal tahu saja, latar belakang dibentuknya holding ultra mikro karena keinginan Kementerian BUMN agar para UMKM bisa naik kelas. Menurut Anis, alasan yang disampaikan Kementerian BUMN seakan-akan permasalahan yang dihadapi UMKM hanya sebatas pendanaan.
"Padahal kendala itu banyak, bukan hanya masalah keuangan saja. Masalah di SDM-nya, akses pemasarannya serta jejaring dan teknologinya," kata dia.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan, kemungkinan terjadinya holding tersebut cukup besar, lantaran rencana ini ada di tangan pemerintah. Menurut Piter, holding BUMN ultra mikro akan memiliki dampak bagi perusahaan BUMN itu sendiri.
"BRI bisa menggunakan likuiditasnya yang besar maka PNM bisa menyakinkan bahwa kreditnya lebih mudah dan lebih banyak. Tetapi yang menarik adalah ini bukan persoalan penambahan perusahaan saja, tetapi yang diharapkan adalah keberadaan pegadaian dan PNM sekarang sudah diterima oleh masyarakat," ucap dia.
Sementara itu, Ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, menyarankan BRI membeli bank-bank komersial untuk memperbesar skala perusahaan ketimbang melakukan holding dengan Pegadaian dan PNM. Holding ultra mikro dianggap tak akan memberi nilai tambah bagi perusahaan.
"BRI itu untuk menjadi ujung tombak financial inclusion lebih baik mengambil alih bank-bank komersial, seperti Bank Muamalat, Bank Bukupin, dan bank-bank lainnya supaya konsolidasi perbankan terjadi," kata Faisal.
Lebih lanjut, katanya, Kementerian BUMN harus memiliki kajian yang jelas ihwal rencana holding ultramikro. Sebab, rencana tersebut justru disinyalir bakal membawa mudarat bagi masyarakat, khususnya Pegadaian. Faisal menduga nasabah perseroan akan dipaksa memiliki rekening BRI sehingga harus terjadi proses pembukaan rekening baru. Kebijakan ini acap terjadi saat perusahaan-perusahaan pelat merah saling berinergi. Baca Juga: Menteri BUMN Erick Thohir Sudah Disetujui untuk Bentuk Holding Ultra Mikro
Selain itu, holding ultra mikro memiliki risiko karena dilakukan terhadap tiga entitas yang memiliki karakteristik sangat berbeda. BRI, misalnya, memiliki tugas melayani segmen UMKM yang sudah terbuka terhadap akses bank dan segmen korporasi. Sementara itu, PNM melayani perusahaan yang relatif baru dan belum memiliki akses terhadap perbankan sehingga memerlukan jasa modal ventura.
Sedangkan Pegadaian sebagai perusahaan pelat merah memiliki tugas membantu masyarakat yang mengalami kesulitan likuiditas untuk memberikan solusi jangka pendek.
"Keinginan Kementerian BUMN untuk melakukan holding justru bertentangan dengan ide untuk memajukan usaha kecil dan menengah secara total. Karena seolah-olah persoalan UMKM hanya keuangan, khususnya akses terhadap kredit," kata Faisal.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman