Penolakan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 3/2021 tentang Jaminan ketersediaan Bahan Baku Industri Gula Dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional, oleh Komisi B DPRD Jawa Timur, mendapat tanggapan Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Petani Tebu Republik Indonesia (APTRI).
Ketua DPD APTRI PTPN XI Jawa Timur, Sunardi Edy Sukamto menyayangkan, sejumlah anggota DPRD yang menolak Permenperin tersebut. Edy menilai, penolakan tersebut dilakukan tidak didasari pada fakta dilapangan yang sesungguhnya.
"Kita bicarakan fakta dilapangan dan kami sangat menyayangkan DPRD Jatim sikapnya justru larut dalam kepentingan pengusaha yang menyalahi izinnya. Mestinya sebagai wakil rakyat melihat persoalan itu secara komprehensif atau menyeluruh dan bicaranya kepentingan rakyat bukan terkesan sebaliknya," kata Edy dalam keterangannya, Selasa (15/6/2021).
Edy menjelaskan, Jawa Timur merupakan lumbung gula nasional dengan luas areal tanam tebu 210.000 Hektar, menghasilkan gula rata-rata per tahun 1-1,2 juta ton gula, setara 51 persen produksi gula konsumsi nasional. Untuk kebutuhan gula konsumsi Jawa Timur 450.000 ton per tahun terjadi surplus sebesar 550.000-650.000 ton per tahun.
Namun, menurut dia, berdirinya 2 pabrik gula baru di Jawa Timur izinnya gula kristal putih (GKP) berbasis tebu (wajib memiliki tanaman tebu sendiri), selama hampir 5 tahun terakhir ternyata tidak menepati janji untuk menyiapkan kebun dan tanamannya sendiri.
"Justru keberadaannya hanya memindah giling tebu yang sudah ada dan bermitra dengan Pabrik Gula sebelumnya, bahkan hanya mengharapkan Comissioning import raw sugar," sesal Edy.
Padahal, lanjut Edy, pemerintah provinsi Jawa Timur berharap adanya pabrik baru bisa berswasembada gula. Namun, faktanya tidak menambah jumlah luas tanam dan hablur gula, justru mematikan pabrik gula yang sudah ada.
APTRI sangat berharap kepada seluru lapisan masyarakat, DPRD serta Pemprov Jawa Timur, dalam menyikapi gencarnya penolakan Permenperin 03/2021, dengan isu langkahnya gula rafinasi yang membuat industri berbasis gula rafinasi panik dan kesulitan mendapatkan gula rafinasi, untuk lebih tenang, tidak larut dalam kepentingan pengusaha yang menyalahi izin.
"Kami sampaikan bahwa penjelasan kami di atas, Jawa Timur surplus dan tidak ada pabrik gula rafinasi. Karena Jawa Timur lumbung gula nasional," ujarnya.
Bagi Edy, dengan spesifikasi dan pembatasan izin impor raw sugar untuk pabrik rafinasi, maka akan lebih mempermudah kontrol dan pengawasan terhadap peredaran gula sesuai jenis dan peruntukannya.
Teknisnya, kebutuhan gula rafinasi di Jawa Timur bisa disuplai oleh pabrik gula rafinasi yang telah ditunjuk oleh pemerintah dari 11 pabrik gula rafinasi yang mendapatkan izin impor dan beroperasi.
Terkait adanya isu bahwa harga gula rafinasi di Jawa Timur akan lebih mahal jika mengambil dari Jawa Barat, Edy menegaskan, itu tidak benar.
Karena subsidi silang ongkos angkut bisa dilakukan oleh pabrik itu sendiri yang ditugasi berdasarkan wilayah tanggungjawab penyaluran.
Karena, sampai saat ini 2 pabrik itu tidak menanam tebu untuk kebutuhan pabriknya. Malah mengambil tebu dari para petani yang sudah bermitra dengan pabrik-pabrik gula yang sudah ada.
Dijelaskan Edy, 2 pabrik gula baru itu mengklaim ke mitra akan membeli tebu dengan harga mahal, tapi tidak sesuai fakta dilapangan.
Menurutnya upaya itu adalah tipu muslihat untuk mengelabui pemerintah pusat, namun sangat merugikan pemerintah provinsi Jawa Timur yang berefek pabrik yang ada tutup.
Dampaknya menambah jumlah pengangguran serta berdampak pada menurunnya perekonomian masyarakat dan menambah angka kemiskinan.
"Kami tak tidak ingin sesuatu yang baik dan benar dalam memperjuangkan nasib negara agraris ditepis oleh kepentingan – kepentingan beberapa pihak atau segelintir orang dengan memanfaatkan jalur politik," tukasnya
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: