Usai Jumpa Israel, Uni Emirat Arab Ingin Pemerintah Palestina Menyerah?

Menteri Luar Negeri Yair Lapid meresmikan kedutaan besar Israel di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA) dan bertemu dengan mitranya Mohammad Bin Zayed. Dia menandatangani perjanjian kerja sama keuangan dan perdagangan. Lapid merayakan kunjungannya dan menggambarkan peresmian kedutaan itu sebagai momen "bersejarah."

"Kami berdiri di sini hari ini karena kami memilih perdamaian daripada perang, kerja sama daripada konflik, kebaikan anak-anak kami daripada kenangan buruk masa lalu. Perjanjian ditandatangani oleh para pemimpin tetapi perdamaian dibuat oleh orang-orang. Israel menginginkan perdamaian dengan semua tetangganya," kata Lapid, dikutip dari Middle East Monitor, Jumat (2/7/2021).

Baca Juga: Berdirinya Yair Lapid di Tanah UEA Rupanya Juga Perkuat Ekonomi Israel, Ini Buktinya

Lapid mengatakan, "Kami tidak akan kemana-mana. Timur Tengah adalah rumah kami. Kami di sini untuk tinggal. Kami menyerukan kepada semua negara di kawasan untuk mengakui itu, dan datang berbicara dengan kami."

Berbicara kepada jurnalis Israel, Barak Ravid, reporter situs berita Wallah Israel, Bin Zayed mengatakan tantangan besar untuk proses normalisasi adalah bagaimana membuat orang Palestina bergabung.

Bin Zayed menyarankan bahwa Israel "harus" bekerja untuk memperbaiki situasi kemanusiaan di Gaza dan menghindari langkah-langkah yang tidak bertanggung jawab di Yerusalem. Tujuannya untuk mencegah eskalasi baru guna memperkuat pemerintah Palestina sebagai mitra perdamaian.

Mendengarkan ini, tampaknya Bin Zayed tidak tahu apa yang terjadi di wilayah pendudukan atau sejarah proyek pemukim-kolonial Israel. Dia berbicara seolah-olah Palestina tidak memiliki hubungan dengan Israel, tetapi Pemerintah Palestina adalah hasil dari Kesepakatan Oslo yang terkenal pada 1990-an dan yang melihat orang-orang Palestina menormalkan hubungan dengan pendudukan.

Ditulis di The Guardian, Ian Black mengatakan, "Perjanjian [Oslo] berarti menyerahkan mimpi yang terkandung dalam Perjanjian Nasional Palestina dengan mengakui batas kekuasaan dalam memperbaiki ketidakadilan perang dan dispersi, dan mengakui bahwa Israel ada di sana untuk tinggal."

Bekas pemimpin Fatah, pemimpin PLO, dan pejabat di pemerintahan Palestina, Yasser Arafat menulis sebuah opini untuk New York Times pada tahun 2002. Dia mengatakan, "Kami memahami kekhawatiran demografis Israel dan memahami bahwa hak kembalinya pengungsi Palestina, hak yang dijamin di bawah hukum internasional dan Resolusi PBB 194, harus dilaksanakan dengan cara yang mempertimbangkan masalah-masalah tersebut." Dia jelas menyerahkan hak-hak Palestina demi kepentingan supremasi Israel.

Penggantinya yang dipilih Amerika Serikat (AS) Mahmoud Abbas, yang telah berkuasa sejak kematian Arafat pada tahun 2003, menyatakan di televisi Israel pada November 2012.

"Palestina sekarang bagi saya adalah perbatasan '67, dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya. Ini sekarang dan selamanya ... Ini adalah Palestina bagi saya. Saya seorang pengungsi, tetapi saya tinggal di Ramallah. Saya percaya bahwa Tepi Barat dan Gaza adalah Palestina dan bagian lainnya adalah Israel," ujar Abbas.

Apa lagi yang diinginkan Bin Zayed dari Palestina dan pemimpinnya?

Abbas telah memerangi perlawanan Palestina atas nama Israel, dia telah diam selama agresi Israel terhadap orang-orang Palestina, properti mereka dan hak-hak mereka. Dia bahkan melawan mereka jika mereka bangkit untuk menuntut pengakuan hak-hak mereka.

UEA mengikuti jejak Palestina dengan tidak menghormati tempat-tempat suci Palestina, rakyat Palestina, hak-hak mereka dan darah mereka. Mereka memukuli orang-orang Palestina, menahan mereka, membatasi kebebasan mereka dan bahkan membunuh mereka demi Israel.

Ia bahkan telah setuju untuk mengizinkan Israel mengambil manfaat dari hubungan perdagangan, seperti yang dilakukan pemerintah Abbas beberapa tahun lalu.

Bin Zayed mengatakan bahwa dia menjaga hubungan baik dengan mantan Menteri Luar Negeri Israel Gabi Eshkenazi, sementara Abbas mengatakan bahwa dia berjalan di bawah sepatu bot tentara Israel.

Abbas tidak terlalu peduli dengan pelanggaran harian dan terus menerus Israel di Yerusalem, di Yerusalem dan Masjid Al-Aqsa, dan Bin Zayed tidak berbeda.

Pemimpin melakukan apa yang tidak dan tidak diharapkan oleh Bin Zayed. Dia menyerahkan tanahnya kepada pendudukan Israel seperti yang dia lakukan dengan kota kelahirannya Safad, di mana dia dan keluarganya diusir secara paksa pada tahun 1948.

Dia telah menyerah lebih banyak pada pendudukan daripada yang dimiliki Bin Zayed, jadi apa lagi yang menurut pejabat UEA diperlukan untuk mengembalikan Palestina ke jalur normalisasi?