Haiti Sudah dalam Krisis Parah Bahkan Sebelum Presiden Tewas, Pakar Politik Beri Gambarannya
Pembunuhan Presiden Haiti Jovenel Moïse di rumahnya pada Rabu (7/7/2021) malam mengancam akan memperburuk masalah Haiti yang sudah merajalela.
"Segala sesuatu yang bisa salah tampaknya menjadi salah," kata Robert Fatton, seorang ahli politik Haiti di University of Virginia, dan penduduk asli Haiti sendiri, dikutip dari NPR, Kamis (8/6/2021).
Baca Juga: Presiden Terbunuh, Haiti Kumandangkan Keadaan Darurat Mendesak
Bagian barat pulau Hispaniola itu, Haiti bertengger di Karibia hanya 600 mil tenggara Florida. Negara kepulauan ini mengusir pemerintahan Prancis dengan pemberontakan yang sukses, menjadi republik pertama yang dipimpin kulit hitam pada tahun 1804.
Amerika Serikat (AS) memiliki sejarah panjang dalam intervensi di sana. Washington menduduki Haiti dari tahun 1915 hingga 1934. AS telah mengirim Marinir dua kali dalam tiga dekade terakhir untuk memulihkan ketertiban, di bawah Presiden Bill Clinton dan sekali lagi di bawah Presiden George W. Bush.
Bahkan sebelum pembunuhan Moïse pada Rabu (7/7/2021) pagi, Haiti berada dalam krisis, meliputi ketidakstabilan politik, dampak abadi dari gempa bumi yang menghancurkan dan epidemi kolera, campur tangan politik asing, dan kekerasan geng semuanya telah memakan korban.
"Anda memiliki situasi di mana lembaga-lembaga tidak bekerja, di mana ekonomi stagnan ... politik sangat tidak stabil. Pemerintah saat ini telah ditantang oleh penduduk. Ada tuduhan korupsi besar-besaran," kata Fatton.
"Jadi sebut saja, dalam hal ketidakstabilan dan pembusukan institusional, Anda memilikinya saat ini di Haiti," ujar Fatton.
Negara ini sedang menghadapi krisis konstitusional
François Pierre-Louis, pakar politik Haiti di Queens College di City University of New York, mengatakan dia tidak begitu terkejut mengetahui pembunuhan Moïse.
Moïse telah melucuti partai-partai politik saingan, pengusaha dan keluarga-keluarga kekuasaan terkemuka.
"Dia membuat banyak musuh. [Serangan itu] bisa datang dari mana saja. Dan dia mengasingkan terlalu banyak orang," kata Pierre-Louis, yang berasal dari Haiti, kepada NPR.
Moïse menjabat pada 2017 setelah pemilihan yang berlarut-larut dan diperebutkan. Dia belum pernah memegang jabatan politik; dia adalah seorang pengusaha yang telah tumbuh kaya sebagai pengekspor buah.
Oposisi mengatakan masa jabatannya seharusnya berakhir pada Februari, tetapi Moïse mengatakan bahwa karena butuh satu tahun baginya untuk resmi menjabat, masa jabatannya harus diperpanjang hingga 2022.
Presiden berusia 53 tahun itu telah memerintah dengan dekrit selama lebih dari setahun ketika dia terbunuh, setelah membubarkan Parlemen dan gagal mengadakan pemilihan legislatif.
Pada 1 Juli, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan pernyataan yang menyatakan "keprihatinan mendalam mengenai memburuknya kondisi politik, keamanan dan kemanusiaan di Haiti."
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: