Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Alhamdulillah... Digitalisasi BUMDes Terus Meluas

        Alhamdulillah... Digitalisasi BUMDes Terus Meluas Kredit Foto: Istimewa
        Warta Ekonomi, Bandung -

        Digitalisasi pemerintahan desa mulai marak di Indonesia namun terkendala situasi dan sumber daya. 

        Direktur Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Sambimulyo di Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Provinsi DI. Yogyakarta, Giyatno mengatakan, pengelolaan obyek wisata Tebing Breksi menjadi lebih mudah setelah menggunakan eLok (Elektronik Loket) yang disokong program Smart Village Nusantara (SVN) PT Telkom

        "Sebelumnya kami hitung semua pemasukan manual, tapi itu merepotkan. Setelah gunakan eLok, berapa pemasukan tiket harian keliatan langsung, berapa dari parkir bisa dicek di dashboard, sehingga transparansi langsung tercipta," kata Giyanto dalam keterangan resminya, Minggu (22/8/2021).  Baca Juga: Kopi Ekpor Masih Lawan Berat PTPN XII. BUMN Ini Siap Lawan. Ini Jurus Saktinya...

        Menurutnya hal ini sangat penting. Sebab, pendapatan asli desa (PAD) dari obyek wisata di desanya sudah cukup signifikan. PAD tahun 2019 mencapai Rp1,2 miliar per tahun, padahal desa ini sebelumnya masuk desa miskin mengacu data BPS tahun 2010 dengan pendapatan Rp10 juta/tahun.   Baca Juga: Tolak IPO BUMN, Pekerja PLN-Pertamina Desak Presiden Jokowi Bertindak: 100% Harus Milik Negara!

        Selain itu, seiring meluasnya desa wisata di Indonesia, destinasi di desanya berkembang ke empat unit penginapan lengkap ruang pertemuan di Balkondes Sambirejo. Dalam waktu dekat, akan dikembangkan Watu Payung yang menjadi spot menarik melihat sunrise dan sunset. 

        Giyatno mengatakan, destinasi ini akan bertambah dengan wisata budaya yang sudah eksis sejak lama di wilayah tersebut sekalipun tidak di bawah pengelolaannya. Seperti Candi Ijo, Candi Barong, Candi Nigiri, Candi Dawung, Sumur Bandung, dan peninggalan sejarah lainnya.

        "Digitalisasi itu kebutuhan karena segalanya tercatat rapih dan mudah dicek. Kendala utamanya ya masih di pandemi karena tempat wisata belum bisa buka, sehingga pendapatan 2020 turun ke Rp400 juta dan tahun ini malah belum sampai Rp200 juta dari Januari sampai Agustus," katanya.

        Giyatno menambahkan, digitalisasi sangat terkait jenjang pendidikan dan sumber daya manusia. Jika di kota mudah menemukan lulusan sarjana, di desanya rerata lulusan SD-SMP. Karenanya, harus terus diedukasi dan diajak untuk berubah kebiasaan. 

        "Kami sudah siapkan peranti kasir digital, iKas, sebanyak dua unit di Balkondes tapi tidak langsung bisa dioperasikan staff kami. Demikian pula dengan peralatan eLok. Jadi, harus sabar dan mau dampingi supaya lama-lama lancar menjalankan," jelasnya.

        Adapun, Ketua BUMDes Desa Palasari, Kecamatan Ciater, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, Nana Mulyana menambahkan, aplikasi SVN yakni simpeldesa juga membuka peluang penambahan pendapatan warga desa yang melakoni usaha mikro. Khususnya dalam penyedian jasa pembayaran mulai dari listrik, pulsa, dan lainnya.

        Menurutnya, sejak menggunakan simpeldesa dua bulan lalu, transaksi harian dari Mitra BUMDes yakni warung kelontongan/warga yang membuka jasa pembayaran tersebut berada di kisaran 10 transaksi per hari dengan skema bagi hasil keuntungan 70% untuk mitra dan 30% untuk BUMDes. 

        "Selain pembayaran, kami juga sudah punya usaha sewa kursi lipat yang jumlahnya sudah mendekati 200 buah. Juga, menjadi mitra pemasok susu sapi perah ke KPSBU di Kecamatan Lembang dengan kepemilikan enam sapi dari BUMDes," ungkapnya.

        Nana mengatakan, aplikasi simpeldesa dalam pemberdayaan ekonomi memang masih merintis. Akan tetapi, untuk layanan administrasi kependudukan, smart government, sudah sangat terasa manfaatnya bagi warga dengan 20% dari total 3.614 penduduk menggunakannya. 

        "Tinggal masalah merubah kebiasaan saja karena belum semua warga mau dan terbiasa menggunakan aplikasi digital. Menu yang ada juga harapannya bisa adopsi untuk usaha kursi lipat dan susu sapi perah, agar lebih meluas penggunaannya ke depan," katanya. 

        Sementara itu, CEO simpeldesa Reno Sundara mengatakan, sejak pertama diluncurkan September 2019, aplikasi terus menuai respon positif. Total pemerintah desa yang gunakan mendekati 300 lokasi, sehingga dirinya optimistis dengan target pengguna 1.000 desa pada tahun ini. 

        Inisiator lapangan sepakbola kaliber internasional di Desa Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat ini menilai dengan berbasis konsep digitalisasi pemberdayaan dan bagi hasil, simpeldesa pun makin berdampak setelah disokong program Telkom Smart Village Nusantara dari Divisi DxB (Digital neXt Business), DGS (Divisi Goverment Service), dan Witel se-Indonesia. 

        "Poinnya adalah aplikasi ini tidak membuat orang desa gigit jari. Kalau ada pembayaran-pembayaran, ada kas yang masuk ke desa dan nantinya balik ke warga berbentuk pembangunan. Itu baru dari sisi smart economy-nya saja, belum dengan manfaat smart goverment dan smart society," jelasnya.

        Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik mencatat, dari 83.931 desa di Indonesia, 69.184 desa produsen sayur dan buah yang dibudiyakan (agrikultur), 20.032 desa memiliki lahan persawahan, 3.112 desa adalah pemasok perikanan, dan 336 desa adalah pemasok komoditas peternakan. 

        Seiring era medsos, selfie, dan wefie saat ini, 1.902 dari total desa tersebut adalah desa wisata. Kekayaan tiap desa demikian tinggi namun tak selalu seiring dengan kualitas kehidupan pada masyarakat pedesaan itu sendiri, sehingga digitalisasi menjadi kebutuhan.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Rahmat Saepulloh
        Editor: Vicky Fadil

        Bagikan Artikel: