Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Baru 8% Pelaku Usaha Hutan Punya Akses ke Pasar

        Baru 8% Pelaku Usaha Hutan Punya Akses ke Pasar Kredit Foto: Boyke P. Siregar
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pertumbuhan bisnis produk hutan berbasis masyarakat masih sangat rendah. Para petani di pedesaan yang menjadi pelaku usaha hutan ini masih sangat banyak yang tak memiliki akses ke pasar.

        Hanya sekitar 8% dari total 7.529 Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) di Indonesia, yang bisa mengakses pasar. Hal itu diutarakan oleh Direktur Program MFP4 (Multistakeholder Forestry Programme Phase 4), Tri Nugroho dalam webinar Katadata SAFE Forum 2021 Collaboration for The Future Economy, Selasa (24/8/2021).

        Baca Juga: Ditekan LSM, Kredibilitas Sertifikasi Hutan Lestari FSC Diragukan

        Untuk mengatasi hal ini, dan sekaligus sebagai upaya meningkatkan hidup masyarakat yang bergantung pada hutan, MFP4 yang merupakan hasil kerjasama bilateral antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Inggris, melakukan kerjasama dengan lembaga yang disebut sebagai Market Access Player (MAP) yang memiliki kemampuan menjembatani masyarakat pelaku usaha hutan dengan pasar.

        Menurut Tri, MAP berbeda dengan pedagang biasa. Pedagang hanya membeli satu komoditas, dan membawanya ke pasar, menjualnya ke pasar dan mengambil margin keuntungan. Tidak demikian dengan MAP.

        “Market Access Player tidak demikian. Dia membeli, memberikan nilai tambah, memperkuat masyarakat, dan menjualnya dengan pesan-pesan kepada pasar yang menceritakan the story behind the comodity,” ujarnya.

        Salah satu contoh MAP yang juga menjadi pembicara di webinar ini adalah Partnership Director, Sekolah Seniman Pangan (SSP), Etih Suryatin. SSP diawali dari adanya kekhawatiran dan adanya potensi sumber daya alam yang luas namun terlupakan dan belum diolah menjadi produk yang punya nilai ekonomi tinggi.

        SSP merupakan sekolah kewirausahaan berbasih pelatihan berorientasi pada praktik langsung untuk mengasah kemampuan kewirausahaan para petani, nelayan, dan food artisan di Indonesia.

        “Kami mengembangkan wirausaha pedesaan, termasuk pengembangan produknya. Kami bersifat action based learning,” kata Etih.

        Berbagai produk unik khas Indonesia pun sudah berhasil dipasarkan oleh SSP. Mulai dari garam dari Nypa, kulit kayu yang rasanya mirip bawang sehingga dijadikan penyedap masakan, sampai chips lezat yang dihasilkan dari tanaman keladi. Semua diberi kemasan dan dibranding secara modern, menarik, dan disertai tulisan cerita menarik dibalik produk-produk istimewa itu.

        Cerita menarik lainnya juga diungkapkan oleh MAP lain yaitu Founder and CEO Nares Essential Oils, Khafidz Nasrullah. Nares berawal dari kejelian Khafidz yang mampu melihat potensi dari sampah daun cengkeh yang selalu terbuang di Kendal.

        “Di situlah saya mulai mengolah sampah sisa daun cengkeh menjadi essential oils,” ujar Khafidz. Ia bercerita sejak lama sisa daun cengkeh dapat dimanfaatkan sebagai essential oil. Namun, Khafidz tak ingin menjadi penjual essential oil dari daun cengkeh yang biasa-biasa saja.

        Meskipun ia awalnya tak bisa berbahasa Inggris, ia berupaya mencari pasar luar negeri dengan cara menelepon dan e-mail ke luar negeri. Di situlah ia mulai mengenal pasar yang lebih luas.

        Kini ia punya 21 produk essential oils yang semua berasal dari alam Indonesia. Berasal dari bunga-bunga, rempah-rempah dan bahkan buah asli Indonesia, yang ia produksi dengan standar internasional.

        Marketnya menurut dia  ternyata sudah sangat besar, saat ini sudah mencapai 600 ton, dari berbagai belahan dunia. “Dan yang menarik, bisnis model kami menggunakan pendekatan yang berbasis masyarakat. Karena sedikit saja essential oil ini membutuhkan bahan yang banyak, sehingga tidak mungkin dikerjakan sendiri,” kata Khafidz.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Boyke P. Siregar
        Editor: Alfi Dinilhaq

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: