Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Anggap Wajar LPEI Defisit Rp4,7 Triliun, Faisal Basri Beberkan Alasannya...

        Anggap Wajar LPEI Defisit Rp4,7 Triliun, Faisal Basri Beberkan Alasannya... Kredit Foto: Panpel
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pengamat ekonomi Faisal Basri ikut merespons soal defisit yang dialami Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia EximBank hingga sebesar Rp4,7 triliun pada 2019.

        Menurutnya, hal ini terjadi karena orientasi bisnis lembaga negara tersebut. Seperti, terdapat beragam bentuk badan usaha dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yakni Persero, Perum (Perusahaan Umum), Lembaga dan lainnya. Baca Juga: Faisal Basri Bongkar Lobi-lobi Politik di Balik Cukai Rokok, Libatkan Menteri hingga Orang Istana

        “BUMN itu ada macam-macam, ada PT (Persero), ada Perum juga, ada lembaga, seperti Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI),” ujarnya kepada wartawan, di Jakarta, Rabu (29/9/2021).

        Baca Juga: Menteri BUMN Ajak Peserta Girls Takeover Kunjungi Sinergi Ultra Mikro SENYUM di Sentiong

        Lanjutnya, ia mengatakan perbedaan pengelolaan usaha merujuk pada orientasi bisnis.

        Seperti LPEI yang menurutnya tidak berorientasi mencari keuntungan, tetapi lebih kepada pembiayaan guna mendorong ekpor nasional.

        “Kalau LPEI itu misinya bukan cari untung, oleh karena dia tidak mirip bank. Kalau bank tarik dana dari masyarakat dan kemudian menyalurkan dalam bentuk kredit, nah kalau lembaga pembiayaan ekspor ini dia dapat suntikan dana dari pemerintah plus dana jual obligasi untuk membiayai ekspor,” papar dia.

        “Jadi jelas itu negara memberikan modal utama untuk dipisahkan, jadi bukan dari APBN lagi. Kecuali kalau pemerintah ingin menyuntikan dana agar pendanaannya lebih besar, tapi itu dipisahkan dari kekayaan negara,” ujarnya.

        Karena itu, menurut dia defisit LPEI RP4,7 triliun sangat wajar lantaran besarnya resiko dan dana yang digelontorkan dalam kegiatan ekspor.

        “Nanti kalau misalnya lembaga itu butuh dana disuntik lagi, karena misalnya misinya lebih besar perlu pendanaan lebih besar dan negara akan suntikan lagi,” ungkapnya.

        “Seperti yang saya katakan untungnya bisa kecil-bisa rugi, karena memang lembaga ini membiayai kegiatan ekspor yang resikonya lebih besar, di mana bank-bank tidak mau kasih pinjaman,” tukas dia.

        Adapun, Ahli Auditor, Eddy Hary Susanto, memaparkan soal defisit LPEI dari sudut pandang hukum.

        Menurutnyaa, suatu audit yang bersifat investigatif mutlak harus dilakukan lebih dulu sebelum dilaporkan secara resmi oleh penanggung jawab perusahaan.

        Terkait LPEII, ia mengatakan Kementerian BUMN harus bertanggung jawab dan melaporkan langsung kepada Kejaksaan Agung.

        "Nah kalau pembiayaan ekspor Indonesia itu bohirnya adalah Menkeu, maka seyogyanya Menkeu lah yang melaporkan atas dasar hasil audit yang sifatnya tadi investigatif atau hasil audit penghitungan kerugian negara," jelasnya.

        "Itu praktek yg seyogyanya dilaksanakan oleh Kejagung seperti halnya yang dilakukan," tambah dia.

        Lebih lanjut, ia mengatakan penggunaan nilai perhitungan kerugian negara berdasarkan perhitungan BPK yang telah melanggar putusan MK RI No.77/PUU-IX/2011 dan putusan MK RI No. 25/PUU-XIV/2016 oleh penyidik KPK, penyidik Kejaksaan Agung atau penyidik Polri adalah suatu bentuk konspirasi abuse of power dari instansi-instansi negara.

        "Merupakan pelanggaran HAM dengan teori konspirasi," tukasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Vicky Fadil

        Bagikan Artikel: