Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Orang Pro-Habib Rizieq: Kalau Densus 88 Nggak Mampu Tangani OPM, Serahkan ke Kami...

        Orang Pro-Habib Rizieq: Kalau Densus 88 Nggak Mampu Tangani OPM, Serahkan ke Kami... Kredit Foto: Istimewa
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Cuitan politikus Gerindra Fadli Zon yang mengusulkan Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror sebaiknya dibubarkan menjadi bahan diskusi dalam Catatan Demokrasi tvOne. Adu argumen sempat terjadi antara Wakil Sekretaris Jenderal Persaudaraan Alumni (PA) 212 Novel Bamukmin dengan Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia, Islah Bahrawi.

        Dalam paparannya, Novel menyebut polemik Densus 88 luar biasa sejak dibentuk karena dianggapnya menimbulkan ketidakadilan. Ia bilang angka 88 dalam nama Densus itu juga karena merujuk jumlah korban tragedi bom Bali. Novel pun mempertanyakan peran dan keberasaan Densus yang memiliki anggaran besar. Apalagi, saat ini sudah ada Brimob hingga Kopassus yang seharusnya bisa dioptimalkan pemerintah.

        Baca Juga: Di Peringatan 19 Tahun Bom Bali, Boy Rafli Amar Bereaksi Begini soal Usulan Fadli Zon

        "Nah, boleh juga Densus 88 ini dilanjutkan keberadaannya. Asal dengan catatan, betul-betul menjalani fungsinya untuk memerangi teror tanpa pandang bulu. Karena Indonesia saat ini dirongrong oleh pemberontak-pemberontak yang ada di Papua," kata Novel, melansir VIVA, Rabu (13/10).

        Bagi dia, Densus seperti gerak cepat alias gercep jika bersinggungan dengan umat Islam. Ia mengatakan, hanya baru diduga teroris, tapi sudah bisa ditembak di jalan. Padahal, mestinya mengedepankan asas hukum praduga tidak bersalah.

        "Akan tetapi, Densus ini punya kebijakan lain yang memang boleh dikatakan sudah menjadi industri untuk fabrikasi," tutur Novel.

        Menurut dia, sudah seharusnya Densus ini fokus terhadap ancaman pemberontak yang membahayakan NKRI. Ia menyebut teroris kelompok kriminal bersentaja (KKB) yang bagian Operasi Papua Merdeka atau OPM mestinya jadi target utama Densus.

        "Ada OPM yang selama ini sudah memakan korban baik TNI, Polri, sipil itu sudah memakan korban. Itu jelas di depan mata," jelas Novel.

        Bagi Novel, jika tak mau dicap Islamofobia, Densus dengan anggaran dilengkapi persenjataan, mestinya ikut perangi teror OPM. "Itu teror, itu teror luar biasa. Jadi, kita melihat kalau nggak mampu dengan anggaran besar, kemudian senjata yang ada serahkan saja kepada ke kami. Laskar-laskar banyak. Kita akan bisa berantas itu OPM. Kalau nggak becus Densus ya bubarin," ujar Novel.

        Pernyataan Novel sempat ditertawakan Islah Bahrawi. Islah tidak setuju dengan Novel. "Jadi, laskar-laskar dibenturkan sesama sipil gitu, supaya terjadi konflik komunal? Tidak gitu, tidak gitu," kata Islah.

        Novel melanjutkan paparannya dengan menyebut Densus yang tak memiliki prestasi. Kata dia, Densus hanya menjadikan umat Islam sebagai korban karena narasi Islamofobia. Namun, tidak ikut memberantas separatis-separatis yang terbukti memberontak dan membahayakan NKRI.

        Kemudian, ia menyebut bila Densus sudah digunakan untuk kepentingan politik. Novel mencontohkan Densus untuk menangkapi lawan politik pemerintah seperti kasus eks Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI) Munarman.

        "Saya tahu FPI ini adalah pelopornya Bang Munarman untuk aksi-aksi kemanusian boleh dilihat rekor terdepan dari pada FPI untu aksi kemanusiaan sampai saat ini," ujar Novel.

        Saat Novel bicara dugaan terorisme fabrikasi dan mencontohkan kejadian 2010 yang dialami FPI, Islah memotongnya. Sempat terjadi perdebatan memanas karena keduanya tidak mau saling bergantian ngomong.

        Islah yang dipersilakan presenter untuk bicara menanggapi Novel soal nama Densus. Dia menjelaskan, angka 88 dalam Densus itu bukan arti dari jumlah tragedi korban bom Bali. Dia menekankan, angka 88 itu berasal dari kata Anti-Terorism Act (ATA) atau yang dilafalkan dalam Bahasa Inggris berbunyi ei ti ekt atau terdengar seperti eighty eight.

        "Jadi, begini. Nama Densus itu 88 tidak mengacu ke nama korban atau apa. Dia mengacu dari ATA, yang kemudian diplesetkan menjadi ei ti ekt Anti Teror Act itu singkatannya. Salah Anda!" ujar Islah.

        Dia melanjutkan bila Densus 88 itu dilahirkan karena amanah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Islah anggap Novel keliru. Ia tidak setuju bila Densus dianggap untuk memberangus lawan politik.

        "Dengan UU Nomor 5 tahun 2018 ketika teroris belum melakukan aksinya ketika mereka baru melakukan persiapan, dia sudah bisa ditangkap dengan alat bukti yang cukup," tutur Islah.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Puri Mei Setyaningrum

        Bagikan Artikel: