Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Wacana Kenaikan Cukai Rokok dan Ironi Prevalensi Perokok Usia Dini

        Wacana Kenaikan Cukai Rokok dan Ironi Prevalensi Perokok Usia Dini Kredit Foto: Antara/Irfan Anshori
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Faisal Akbar (17) sudah coba-coba merokok sejak Sekolah Dasar (SD). Ia bercerita bahwa saat kelas 4 SD, teman-teman di lingkungan rumah maupun sekolahnya yang mengenalkan rokok kepada dirinya. Sejak saat itulah ia mulai merokok hingga sekarang. Per hari, ia bisa menghabiskan 16 batang rokok yang ia beli dari hasil kerja informal.

        Namun, pelajar SMK di salah satu kecamatan di Kabupaten Cirebon ini mengaku akan berhenti merokok jika harga rokok yang ia konsumsi naik. Di samping itu, ia mengaku mulai konsen dengan dampak merokok bagi kesehatannya.

        "Kemungkinan berhenti (merokok), sekarang saja sudah mulai mengurangi (rokok)," tuturnya kepada Warta Ekonomi (1/10/2021) sambil mengimbuhkan, "ya ingin hidup sehat, yang ditakutkan terkena penyakit. Kan lebih baik mencegah daripada mengobati."

        Baca Juga: Kenaikan Cukai Rokok Dinilai Tak Membuat Penerimaan Negara Turun

        Faisal bilang bahwa sebenarnya orangtuanya telah melarang merokok, tapi tak ia indahkan. Ismail (57), ayah dari Faisal, sampaikan bahwa ia sebenarnya sudah berkali-kali menegur anaknya itu agar tidak merokok. Ayah tiga anak ini mengaku sering mengedukasi anaknya tentang bahaya merokok, bahwa merokok merusak kesehatan.

        "Faisal sudah doyan merokok ya, sudah susah dinasehatinya," tutur mantan perokok ini saat dihubungi Warta Ekonomi (9/10/2021).

        Faisal hanyalah satu dari sekian banyak remaja Indonesia yang kecanduan merokok. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas), prevalensi perokok usia anak di bawah 18 tahun meningkat dari 7,2 (2013) menjadi 9,1 (2019). Berdasarkan laporan 2014 Global Youth Tobacco Survey, untuk kelompok usia 13–15 tahun juga diketahui bahwa 20,3% pelajar; 36,2% anak laki-laki; dan 4,3% anak perempuan menggunakan tembakau.

        Guna menurunkan prevalensi perokok, terutama usia anak, yang ditargetkan mencapai 8,7 persen pada 2024, pemerintah berencana untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok pada tahun depan, tetapi belum menentukan berapa besaran kenaikannya.

        Stafsus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal Sektoral Titik Anas mengatakan bahwa selama ini, pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan harga rokok agar tidak terjangkau oleh konsumen anak-anak.

        Hal ini tampak dari affordability index (indeks keterjangkauan) rokok atau persentase pembelian 100 bungkus rokok terhadap produk domestik bruto (PDB) per kapita yang meningkat dalam dua tahun terakhir. Tahun lalu, indeks keterjangkauan rokok meningkat menjadi 4,3 persen dari 3,9 persen di tahun sebelumnya. Indeks keterjangkauan rokok kembali meningkat pada 2021 menjadi 4,6 persen.

        "Kalau kita lihat harga rokok di Indonesia ini sebetulnya sudah relatif mahal dibandingkan dengan Filipina, Thailand, dan Vietnam. Tapi kalau kita bandingkan dengan Singapura dan Malaysia ini masih relatif murah," kata Titik dalam diskusi virtual bersama AJI (2/9/2021).

        Cukai Rendah, Rokok Murah

        Kepala bidang Advokasi dan Kemitraan Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Sakri Sabatmaja membeberkan data terkait situasi dan kondisi pevalensi merokok di Indonesia, di mana Indonesia menduduki tiga besar jumlah perokok usia di atas 10 tahun setelah India dan China, saat ditanya Warta Ekonomi soal prevalensi perokok usia dini (17/10/2021).

        Saat di webinar Dukungan Kenaikan Cukai dan Harga Rokok (6/10/2021), Sakri menjelaskan,  masifnya iklan rokok yang menampilkan harga murah melalui media sosial dan internet menjadi penyebab masyarakat dapat dengan lebih mudah membeli rokok. Bahkan hal ini banyak menarik minat konsumsi rokok di kalangan anak-anak dan remaja Indonesia.

        "Jumlah masyarakat yang mengonsumsi rokok di Tanah Air semakin meningkat meskipun sedang dalam masa pandemi Covid-19 karena adanya persaingan iklan rokok yang menawarkan harga rendah sehingga masyarakat tertarik membeli. Apalagi anak muda yang hobinya belanja online," paparnya.

        Karenanya, ia meminta pemerintah menaikkan tarif cukai produk rokok di Indonesia untuk bisa meningkatkan kesehatan masyarakat demi mengurangi konsumsi rokok.

        "Sudah ada indiksasi pabrik sudah berbondong-bondong ke kretek tangan lagi. Saran saya, ayo hajar terus naikkan saja harga cukai (rokok)," ujarnya menggebu-gebu.

        Ia bahkan miris dengan adanya fenomena masyarakat yang tidak memiliki uang, tapi memilih menahan lapar dibandingkan tidak bisa mengonsumsi rokok. Kondisi ini semakin memprihatinkan, lanjutnya, karena tidak ada regulasi yang jelas untuk mengatur tampilan iklan-iklan tersebut, baik papan billboard di pinggir jalan maupun di internet.

        Dia mengajak seluruh pemerintah daerah untuk lebih tegas meningkatkan penerapan aturan yang berhubungan dengan kawasan tanpa asap rokok agar bisa mengurangi konsumsi masyarakat, baik dalam membeli maupun mengonumsi rokok.

        Sakri pun berharap pemda bisa lebih gencar mengedukasi warganya tentang bahaya rokok dan mampu memanfaatkan pendanaan yang berasal dari pajak rokok untuk kegiatan sosial kesehatan yang ada di daerahnya masing-masing.

        "Kami sangat sepakat kalau pengendalian dan regulasinya diperkuat dengan kenaikan cukai (rokok). Silakan saja (naikkan cukai), jangan direm," tegasnya.

        Pernyataan Sakri diamini oleh data Bank Dunia bertajuk Cigarette Affordability in Indonesia: 2002 2017, yang dikutip dari kajian WHO Regional Office for South-East Asia (1/10/2021). Penelitan tersebut menyebutkan bahwa semakin murah harga rokok menyebabkan semakin tinggi konsumsinya.

        "Rokok yang murah terjangkau semua segmen masyarakat dan mendorong inisiasi merokok serta menghalangi upaya berhenti merokok. Selain itu, banyak orang miskin dan anak-anak membeli rokok secara eceran per batang dari penjual jalanan sehingga rokok menjadi semakin mudah didapatkan," tulis WHO.

        Hal senada juga disampaikan oleh Prof Hasbullah Thabrany, Ketua Umum Komisi Nasional Pengendalian Tembakau. Menurutnya, harga rokok di Indonesia saat ini masih sangat murah sehingga masyarakat makin mudah membeli rokok. Pada akhirnya para pecandu rokok belum bisa dikendalikan.

        "Dari sisi industri, sangat agresif memasarkan iklan-iklan dengan berbagai teknik di internet. Tanpa adanya upaya yang keras dan harganya mahal, ya pasti sulit untuk menurunkan prevalensi merokok," papar Guru Besar Universitas Indonesia ini kepada Warta Ekonomi (11/10/2021).

        Masih menurut penelitian WHO, tarif CHT yang rendah menjadi biang keladi dari harga rokok yang murah dan terjangkau oleh berbagai kalangan. Meskipun cukai dan harga meningkat secara berkala (sebesar sekitar 10% per tahun), produk-produk tembakau menjadi semakin terjangkau karena kenaikan harga masih berada di bawah tingkat inflasi dan kenaikan tingkat pendapatan masyarakat.

        "Sebuah analisis tren harga tembakau di Indonesia mengindikasikan bahwa produk-produk tembakau 50% lebih terjangkau pada 2016 dibandingkan 2002. Menurut sejumlah analisis, porsi produk domestik bruto (PDB) yang diperlukan untuk membeli 100 bungkus rokok juga diperkirakan menurun dari 6% pada tahun 2002 menjadi 4% pada 2016, yang berarti rokok semakin terjangkau bagi kebanyakan orang," bunyi kajian tersebut.

        Hasbullah sependapat dengan WHO bahwa penurunan konsumsi rokok baru bisa signifikan terjadi bila tarif cukai rokok di Indonesia dua kali lipat dari harga rata-rata inflasi. Dia juga bilang kenaikan harga rokok juga bisa menangkal angka perokok muda karena keterbatasan finansial.

        "Idealnya, paling sedikit naiknya dua kali dari kenaikan rata-rata pendapatan penduduk, ya paling sedikit 10%. Semakin banyak semakin bagus," bebernya.

        Konsisten dengan pernyataan Hasbullah, kajian ilmiah bertajuk Tobacco Economics in Indonesia, yang diakses (13/10/2021), menunjukkan elastisitas harga sebesar -0,29 hingga -0,67, atau bahwa kenaikan harga rokok sebesar 10 persen mengakibatkan penurunan konsumsi rokok sebesar 2,9 hingga 6,7%.

        Penelian itu pun menyebutkan bahwa kaum muda dan orang-orang dengan pendapatan rendah sangat responsif terhadap kenaikan harga tembakau. Karenanya, menjaga harga tembakau riil tetap tinggi melalui perpajakan merupakan alat yang paling efektif dalam mencegah penyerapan dan mendorong penghentian merokok di kalangan remaja.

        "Perkiraan baru-baru ini menunjukkan bahwa elastisitas harga permintaan di kalangan kaum muda bisa tiga kali lebih besar daripada elastisitas untuk orang dewasa — yang berarti bahwa kaum muda jauh lebih mungkin untuk berhenti, mengurangi konsumsi, atau tidak mulai menggunakan tembakau sebagai tanggapan terhadap perubahan harga," tulis penelitian tersebut.

        Oleh sebab itu, Hasbullah menyarankan pemerintah untuk terus meningkatkan cukai rokok dan mengimplemetasikan simplifikasi tarif cukai demi mencegah keterjangkauan harga rokok di masyarakat, khususnya anak-anak.

        Tak Berdiri Sendiri

        Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyatno menuturkan, untuk menurunkan prevalensi merokok, terkhusus pada kalangan remaja, tidak cukup hanya dengan menaikkan cukai rokok atau harga rokok yang mahal, tapi harus dibarengi dengan instrumen yang lain. Antara lain larangan iklan dan penjualan rokok eceran.

        Lebih lanjut, ia mengatakan kebijakan pelarangan iklan akan efektif untuk melindungi kelompok rentan seperti anak-anak dari jeratan konsumsi rokok. Misalkan harga rokok atau cukai naik, tapi rokok masih bisa dijual eceran, lanjutnya, bahkan anak-anak SD dengan uang saku rata-rata antara Rp5 ribu-Rp10 ribu, mereka masih bisa menjangkau rokok.

        "Artinya, tidak bisa berdiri sendiri, harus dibarengi dengan instrumen pengendalian yang lain, yaitu larangan iklan rokok termasuk larangan penjualan eceran, kemudian penerapan kawasan tanpa rokok yang lebih masif dan ketat," paparnya melalui sambungan telepon kepada Warta Ekonomi (11/10/2021).

        Dia pun menggarisbawahi, setiap kebijakan yang ditujukan untuk mengendalikan konsumsi tembakau harus dilakukan secara bersamaan, tidak bisa terpisah-pisah. Kebijakan tersebut antara lain larangan penjualan eceran, larangan display, peringatan kesehatan bergambar, juga adanya kawasan bebas rokok.

        "Instrumen ini yang harus saling mendukung, tidak bisa hanya satu instrumen saja. Semuanya perlu dilakukan secara bersamaan, baik itu kenaikan cukai, larangan total banned iklan dan sponsorhip, termasuk larangan penjualan ketengan, serta penegakkan kawasan tanpa rokok," jelas Agus.

        Hasbullah membeberkan, meningkatnya jumlah perokok anak dipengaruhi oleh masifnya iklan, promosi, dan sponsor rokok, serta harga rokok yang masih sangat terjangkau bagi kantong anak-anak.

        Berbagai taktik juga dilakukan industri rokok demi menggaet anak muda untuk mulai merokok dan menjadi kecanduan, mulai dari membuat iklan yang bergaya anak muda keren, meletakkan iklan-iklan di sekitar sekolah, sampai membuat promosi harga per batang di iklan-iklannya.

        Oleh sebab itu, Hasbullah meminta pemerintah untuk membatasi iklan-iklan iklan yang ditayangkan di sekitar kehidupan masyarakat seperti di televisi, baliho, dan media sosial. Sebab, iklan merupakan salah satu faktor pemicu rokok.

        Menurutnya, mengendalikan konsumsi dengan cara menaikkan tarif cukai saja tidak cukup. Masyarakat perlu diberikan pemahaman bahwa rokok menimbulkan candu dan berbahaya bagi kesehatan.

        "Kalau tidak ada kenaikan cukai yang signifikan dan kampanye tentang bahaya rokok, pembatasan iklan rokok, upaya menjauhkan gambar atau benda rokok dari anak-anak usia dini, ya (penurunan prevalensi) tidak akan tercapai," tegasnya.

        Sejumlah negara lain telah membuktikan bahwa penerapan cukai yang tinggi dan kombinasi berbagai kebijakan pengendalian tembakau lainnya mampu menekan prevalensi perokok, khususnya usia dini.

        Menurut laporan Jurnal Public Health Research & Practice, yang dilansir dari laman ABC (12/10/2021), data untuk negara bagian New South Wales Australia misalnya, menunjukkan dalam 20 tahun terakhir, jumlah remaja yang merokok telah menurun sebesar hampir 20 persen. 

        Anita Dessaix dari Cancer Institute of New South Wales menjelaskan bahwa 20 tahun lalu, penduduk usia 12 hingga 17 tahun yang merokok mencapai 23,5 persen, dan tinggal 6,7 persen di tahun 2016.

        "Ada sejumlah kebijakan yang berpengaruh besar terhadap hal ini," ungkap Anita.

        Dia menyebutkan kebijakan pengendalian tembakau yang berlaku di Australia, mulai dari keharusan bungkus rokok yang tanpa merek, harga rokok yang mahal, hingga kampanye publik tentang bahaya rokok, efektif menekan prevalensi perokok muda.

        "Kami bisa pastikan harga rokok yang sangat mahal sangat efektif. Kampanye publik juga cukup efektif," imbuhnya.

        Faktor lainnya adalah memperluas kawasan dilarang merokok, serta ketatnya pengawasan terhadap larangan menjual rokok kepada anak di bawah umur 18 tahun. Diketahui Pemerintah Australia menghabiskan AUD155.084.345 untuk pengendalian tembakau, termasuk pajak dan kenaikan harga, larangan iklan dan lingkungan bebas asap rokok, untuk mengamankan penurunan prevalensi merokok di kalangan remaja.

        Negara tetangga Indonesia, Singapura melalui Badan Lingkungan Nasional (NEA) mengatakan sejumlah kebijakan anti-rokoknya telah menunjukkan beberapa keberhasilan. Mengutip Channel News Asia (12/10/2021), misalnya, sejak awal 1970-an, Pemerintah Singapura telah mengampanyekan gaya hidup bebas asap rokok di Singapura.

        Menurut NEA, di awal-awal kemerdekaan Singapura, merokok masih diperbolehkan di dalam ruangan. Namun, tidak lama kemudian undang-undang yang mengatur larangan merokok di tempat tertentu diperkenalkan pada Oktober 1970.

        Sejak saat itu tingkat merokok di Singapura terus menurun. Pada 1992 jumlah penduduk Singapura yang merokok tercatat 18,3 persen. Pada 2019 angka tersebut turun menjadi 10,6 persen. NEA mengklaim keberhasilan ini tercapai melalui kombinasi dari penerbitan peraturan dan pendidikan publik.

        NEA menjelaskan pihak berwenang telah mengatur iklan tembakau dan melakukan berbagai kampanye anti-merokok dengan memperhatikan daya pikatnya terhadap kaum muda. Pemerintah juga menaikkan usia minimum bagi perokok menjadi 21 tahun, membuat produk tembakau lebih mahal dengan pajak yang lebih tinggi, dan melarang merokok di lebih banyak tempat.

        NEA mencatat ada lebih dari 32 ribu titik dilarang merokok di Singapura, termasuk di jalan-jalan kecil dan daerah pemukiman umum. "NEA telah secara bertahap memperluas daftar tempat terlarang merokok yang tercakup dalam undang-undang tersebut dengan berkonsultasi dengan publik dan pemangku kepentingan terkait," kata mereka.

        Hal yang sama juga dialami Thailand. Kenaikan harga rokok lewat kenaikan cukai di negara tersebut menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah perokok secara umum. Prevalensi perokok di Negeri Gajah Putih ini turun drastis dari 70 persen tahun 1995 menjadi 40 persen di 2021. 

        Thailand mengungkapkan bahwa pemerintah menggunakan 100 persen penerimaan cukai rokok dan alkohol untuk program promosi kesehatan. Bahkan sejak 2002 Thailand sudah membentuk Thai Health yang bertanggung jawab untuk mengelola cukai.

        "Berbeda dengan pengalaman Thailand, di mana kenaikan harga rokok melalui kenaikan cukai dilakukan mampu membuat perokok berhenti merokok sehingga mengurangi prevalensi merokok," bunyi penelitian berjudul Impact of Price and Non-price Policies on Household Cigarette Consumption and Nutrient Intake in Smoking-tolerant Indonesia, dikutip (13/10/2021).

        Begitu pula dengan Finlandia. Negara ini termasuk yang paling sukses menekan angka perokok di dunia. Saat ini, jumlah perokoknya kurang dua persen saja. Sebab Finlandia melakukan pelarangan berbagai iklan rokok di media massa maupun billboard di jalanan. Pemerintah juga membuat lebih banyak ruang publik yang bebas asap rokok.

        Selain itu, Finlandia menaikkan pajak bagi toko yang menjual rokok atau produk tembakau lainnya. Setiap toko yang ingin menjual rokok harus mengajukan proposal perizinan dan membayar biaya perizinan tersebut. Ini belum termasuk biaya tambahan yang harus dibayarkan tiap tahun. Biaya tambahan ini digunakan untuk membayar uang lembur pegawai pemerintah yang bertugas mengawasi mereka.

        Namun, justru biaya tambahan inilah yang paling mahal karena dihitung per kasir. Biayanya sendiri bisa lebih dari 500 dolar AS (sekitar Rp6,6 juta) untuk setiap kasirnya setiap tahun. Jadi bila ada toko dengan 10 kasir maka mereka bisa saja membayar lebih dari 5.000 dolar AS (Rp66 juta) per tahun.

        "Jadi, biayanya cukup mahal hanya untuk bisa mendapatkan izin menjual produk ini," kata Kaari Paaso, Kepala Unit Pencegahan Bahaya dari Ministry of Health and Social Affairs, dilansir dari CNN (12/10/2021).

        Yang unik, mulai tahun 2017, Finlandia melarang seseorang merokok di balkon rumah orang lain jika keberadaan mereka dirasa mengganggu si pemilik rumah maupun tetangganya, terutama jika asap pembakaran rokoknya kemana-mana.

        Selain itu penduduk Finlandia tak lagi diperkenankan menghisap rokok di mobil jika ada penumpang berusia 15 tahun ke bawah di dalamnya, tak peduli meski itu adalah kendaraan pribadi mereka.  Untuk mencegah pengenalan rokok pada generasi muda, pemerintah juga membatasi penjualan berbagai produk yang mirip rokok seperti permen atau cokelat yang berbentuk seperti rokok.

        Simplifikasi Cukai

        WHO dalam kajiannya menyebut bahwa struktur cukai di Indonesia yang kompleks membuat harga tetap terjangkau dan menggagalkan tujuan kesehatan masyarakat untuk mengurangi konsumsi tembakau.

        "Struktur cukai yang rumit menguntungkan pengembangan produk-produk tembakau di pasaran, memberikan celah untuk penghindaran dan pengelakan cukai, dan menghambat manfaat-manfaat kesehatan masyarakat dari cukai hasil tembakau yang lebih tinggi karena struktur tersebut menciptakan opsi untuk beralih ke produk-produk yang lebih murah," tulis WHO.

        Bagus Wahyu Prasetyo dalam penelitiannya berjudul Cigarette Prices in a Complex Cigarette Tax System: Empirical Evidence from Indonesia menyebut, "struktur berlapis ini juga dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan besar untuk mengurangi kewajiban cukainya dengan menggunakan layer-layer cukai rendah, sehingga rokok makin terjangkau."

        Agus pun sepemikiran bahwa permasalahan pada cukai rokok, bukan saja tarif cukainya yang rendah. Masalah lainnya, layer yang banyak dalam penerapan cukai rokok. Saat ini cukai rokok Indonesia memiliki 10 layer, yang membuatkan lebih banyak dibandingkan dengan negara lain.

        "Perlu ada penyerhanaan dari tarif cukai rokok, idealnya hanya ada tarif sigaret kretek tangan dan sigaret kretek mesin. Ini akan efektif, rokok sama harganya," ujarnya.

        Lebih lanjut, ia bilang bahwa sistem layer cukai tembakau yang banyak ini menjadi salah satu penyebab terhambatnya pengendalian dan penurunan jumlah perokok di Indonesia. 

        "Kalau sistem layer cukainya masih seperti ini, masih banyak, ini tentu saja kan ada disparitas harga yang cukup signifikan. Kalau sistem layer cukai ini tidak disederhanakan, pilihan harga rokok akan sangat banyak," bebernya.

        Dalam situasi seperti ini, imbuhnya, sekalipun harga rokok naik, konsumen akan tetap dengan mudah mencari pengganti merek rokok yang lain.

        "Ketika perokok tidak bisa membeli rokok karena harga yang tinggi, dia akan membeli harga substitusi yang rendah, dengan merek yang tentu saja berbeda. Perokok bisa saja turun grade ketika harga rokok yang biasa dia konsumsi harganya naik," papar Agus.

        Banyaknya layer dalam sistem tarif CHT, kata dia, menyebabkan kebijakan cukai menjadi tidak efektif. Sistem cukai yang berlaku saat ini juga memudahkan perusahaan rokok untuk memproduksi rokok dengan jenis dan merek yang berbeda pada golongan yang paling rendah.

        "Artinya dengan sistem seperti ini perusahaan atau produk rokok A misalnya bisa memproduksi dengan kemiripan rasa, kemudian menaruh harga di layer yang paling rendah, dan harganya masih terjangkau anak-anak," katanya.

        Agus mengatakan pelaksanaan simplifikasi struktur tarif CHT ini lebih baik disegerakan secepat mungkin. 

        "Kalau kita kaitkan pada saat pandemi seperti ini justru saat yang paling tepat kalau pemerintah mau melaksanakan itu," tandasnya.

        Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Najoan membantah pandangan Agus. Ia bilang, struktur tarif cukai hasil tembakau yang saat ini terdiri dari 10 layer adalah yang paling ideal, berkeadilan, dan bijak bagi jenis produk serta golongan pabrik I, II, dan III (besar, menengah, dan kecil) yang jumlahnya sekitar 700-an unit pabrik aktif dengan ukuran atau skala dan pasar yang bervariasi.

        "Kami berharap pemerintah mempertahankan (struktur cukai) 10 layer," tuturnya kepada Warta Ekonomi, Senin (25/10/2021).

        Henry pun membeberkan dampak apabila simplifikasi cukai dijalankan. Pertama, berdampak buruk bagi kelangsungan pabrik kecil dan menengah dalam jangka pendek dan juga pabrik besar dalam jangka panjang karena harga produk tidak terjangkau oleh segmen pasarnya dan konsumen akan berpindah ke rokok ilegal yang lebih murah.

        Kedua, pabrik golongan kecil dan menengah akan menjadi korban, dan akan membuat industri hasil tembakau (IHT), khususnya kretek, menjadi tidak sehat. Hal ini berbahaya bagi kedaulatan bangsa Indonesia.

        "Kami berharap pemerintah tidak melakukan simplifikasi tarif cukai rokok," katanya berharap.

        Ia juga membantah klaim WHO yang menyebut bahwa struktur cukai membuat harga rokok murah, sehingga bisa dijangkau oleh konsumen kalangan anak-anak dan remaja.

        "Tidak ada hubungannya (struktur tarif cukai membuat harga rokok murah). Prevalensi anak merokok bisa dicegah dengan pendidikan untuk orang tua dan anaknya, bukan melalui instrumen cukai," pungkasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Rosmayanti
        Editor: Cahyo Prayogo

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: