Reputasi Fintech Jadi Jelek Gara-Gara Pinjol Ilegal, Ini Kata Para Pakar
Di tengah percepatan industri digitalisasi yang kian berkembang, dunia fintech (financial technology) juga kian menunjukan eksistensinya. Namun, tidak semua fintech yang ada di Indonesia sehat. Banyak oknum yang tidak bertanggung jawab dan menjalankan bisnis fintech asal-asalan, salah satunya pinjaman online (pinjol) ilegal.
Menurut CEO PR Indonesia, Asmono Wikan, karena pinjol ilegal ini, banyak fintech resmi yang baik dan sehat ikut tercemar nama baiknya. Ia mengatakan, hal ini bisa terjadi karena kurangnya edukasi dan literasi kepada masyarakat soal fintech.
Baca Juga: Dear Pemerintah, Perlindungan Nasabah Fintech Perlu Diperkuat Segera!
"Oleh karena itu, dalam sebuah industri yang baru langkah-langkah mengomunikasikan tentang fintech harus dilakukan oleh pelaku usaha dan asosiasinya. Terutama pada target-target yang memang menjadi calon konsumen itu sendiri," ujarnya saat diwawancarai oleh tim Warta Ekonomi, Kamis, (28/10).
Ia lebih lanjut mengatakan soal pemberitaan negatif tentang fintech. Karena oknum nakal ini, hal itu tentu saja merugikan fintech yang secara resmi mendapat izin dan diawasi oleh lembaga Negara.
"Ini pasti menimbulkan kerugian. Selain itu, juga dapat merusak reputasi fintech yang lain. Seharusnya pemimpin pasar atau mereka yang ada dalam industri ini diharuskan memberi edukasi kepada pasar. Nah, syukur-syukur bisa melibatkan pelaku usaha yang lain," ujarnya.
Menurutnya, kerja sama dan kolaborasi ini akan membuat pandangan, perspektif, hingga reputasi fintech akan lebih baik di mata masyarakat. "Edukasi ini masih sangat kurang. Harusnya ada yang turun ke masyarakat dan memberitahu mereka bagaimana proses dan risiko terkait pinjaman online melalui fintech," tegasnya.
Terkait pinjol ilegal, Asmono mengatakan bahwa regulator semacam OJK dan Polri harus bekerja sama mengusut dan mempertegas aturan main untuk fintech ini. Ia memaparkan, pinjol ilegal bisa langsung diserahkan oleh kepolisian karena mereka sudah melanggar dan membuat suatu tindak pidana. Sementara, OJK bisa bekerja dengan memperkuat dan memperkokoh posisi fintech yang ada di dalam naungannya.
"OJK bisa membuat kampapanye positif serta literasi kepada publik tentang literasi bahwa dalam berkegiatan keuangan ini ada hal-hal yang harus dipahami oleh masyarakat. Juga, OJK harus bertindak tegas agar para pinjol yang ingin bermain curang dan nakal berpikir ulang sebelum memulai tindakan mereka," katanya melanjutkan.
Senada dengan Asmono, pakar marketing Yuswohady mengatakan bahwa para pelaku memanfaatkan momentum saat masyarakat sedang mengalami krisis ekonomi akibat pandemi ini.
"Mereka (pinjol) melihat ini sebagai peluang, tapi kemudian praktiknya yang tidak benar dan kemudian diberi pinjaman. Namun, penagihannya menggunakan cara yang tidak benar. Seperti penyebaran data lalu dipaksa, bahkan ada yang beberapa menggunakan fisik sehingga yang meminjam tidak mau bayar dan yang memberi pinjaman menagihnya juga tidak sesuai dengan prosedur," kata Yuswohady.
Dari contoh kasus di atas, menurut Yuswohady, sudah cukup mencemarkan nama baik pinjol atau fintech resmi. Untuk itu, ia menyarankan kepada para pelaku usaha fintech agar bisa memulai membangun reputasi dengan pengelolaan manajemen risiko dan memilih para calon nasabah berkualitas.
"Bisnis keuangan itu kan seperti bank, jadi bank itu mereka sangat menjaga reputasinya agar bisa dipercaya oleh masyarakat," ujar Yuswohady.
Ia juga menuturkan pinjol atau fintech di Indonesia ini belum cukup dewasa. Hal ini disebabkan kurangnya perketatan kemampuan manajemen resiko yang tergolong lemah. "Ya itu memang harus kerja keras, dan tentunya membutuhkan banyak waktu serta biaya pastinya," imbuhnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Nuzulia Nur Rahma
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: