Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        CENTRIS Minta Penegak Hukum Tidak Terjebak dengan Kerjasama Interpol Asing

        CENTRIS Minta Penegak Hukum Tidak Terjebak dengan Kerjasama Interpol Asing Kredit Foto: Reuters
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Safeguard Defenders merilis investigasi terbarunya, dan untuk pertama kalinya menyajikan data tentang bagaimana China menyalahgunakan alat Interpol seperti Red Notices, untuk kepentingan politik negaranya.

        NGO internasional pemerhati HAM ini melansir bagaimana penggunaan Interpol telah berubah secara dramatis sejak Presiden China, XI Jinping meluncurkan  kampanye "anti-korupsi".  

        Perubahan ini dapat dilihat dari ekspansi cepat Interpol selama dua dekade terakhir dalam penggunaan Red Notice yang meningkat sepuluh kali lipat, dan difusi lima kali lipat. Penggunaan Red Notice antara lain untuk melakukan ekstradisi atau mengembalikan orang yang dituduh buronan ke China.

        Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) meminta pemerintah khususnya aparatur penegak hukum untuk tidak terjebak dengan kerjasama interpol China, yang diduga telah disalahgunakan oleh negeri tirai bambu tersebut.

        “Jangan sampai terjebak dengan permainan ini. Jelas kok data hasil investigasi NGO Safeguard Defenders, baca saja,” kata peneliti senior CENTRIS, AB Solissa kepada wartawan hari ini, Kamis, (18/11/2021).

        Apalagi, lanjut AB Solissa, dalam laporan tersebut disebutkan bahwa agen pemerintah China juga terlibat dalam memaksa mereka yang dituduh buronan melalui ancaman terhadap keluarganya di China.

        Bukan hanya itu, China juga mengirim agen-agennya ke luar negeri untuk beroperasi secara ilegal di negara asing, mengintimidasi dan memaksa orang agar kembali ke China.

        Kasus baru seperti penahanan lanjutan terhadap etnis Uighur, Idris Hasan di Maroko berdasarkan Red Notice yang diminta oleh Republik Rakyat Tiongkok (RRT) kepada Interpol, ternyata dikeluarkan pada tahun 2017.

        Belum lagi kasus seorang wanita muda China yang mengaku ditahan selama delapan hari di fasilitas penahanan rahasia yang dikelola China di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), bersama dengan setidaknya dua orang Uighur.

        Bersama dengan Uighur, China telah menindak para pembangkang dan aktivis hak asasi manusia, dan telah meluncurkan upaya besar-besaran untuk mendapatkan kembali pejabat karena dicurigai, sebagai bagian dari kampanye “anti-korupsi nasional” oleh Negeri Panda tersebut.

        “Pemerintah Indonesia harus mewaspadai dan melarang semua jenis kegiatan intelijen negara China di Indonesia khususnya yang berpotensi melanggar HAM’” tutur Solissa.

        CENTRIS meminta instrumen negara seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Badan Intelejen Negara dan Polri untuk lebih memperketat pengawasan seluruh aktivitas dan kegiatan Interpol China di Indonesia.

        Di sisi lain, pemerintah China diminta melakukan cara-cara konstitusional jika ingin melakukan tindakan kepada warga negaranya yang berada di luar negeri, bukan dengan cara-cara yang melanggar HAM seperti yang dilansir Safeguard Defender.

        “Jika cara-cara bar-bar masih diterapkan China pada masa kini, saya kira wajar-wajar saja jika warga negaranya sendiri berani membangkang atau kabur dari negaranya, ucap Solissa.

        Dalam lingkup kampanye yang lebih luas tentang masalah-masalah tersebut termasuk perjanjian ekstradisi bilateral dan perjanjian kerja sama peradilan dengan China, dalam penyelidikan singkat yang dilakukan Safegurd Defender ini berupaya menjelaskan beberapa pelanggaran oleh otoritas pemerintah Tiongkok.

        Meski data tentang penggunaan Interpol oleh China masih langka, namun menurut Safeguard Defender, semua bukti menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam penggunaan alat-alat Interpol sejak Xi Jinping mengambil alih kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok pada tahun 2012.

        “Sekali lagi pemerintah harus waspada, mesti jeli melihat aktivitas warga negara China yang masuk ke Indonesia. Jangan mau dijadikan sarang atau tempat transit kegiatan intelijen Tiongkok, apalagi yang patut diduga melanggar HAM,” pungkas AB Solissa.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Bagikan Artikel: