Jangan Panik, Afrika Selatan Rilis Studinya Soal Infeksi Omicron Lemah karena...
Sejak varian Omicron yang tinggi mutasi dilaporkan bulan lalu oleh Afrika Selatan, banyak negara di dunia menjadi panik. Menjelang Natal, kekhawatiran menjadi meningkat dengan beberapa negara ramai memberlakukan pembatasan baru demi menekan varian yang berpotensi merusak ekonomi.
Jerman, Skotlandia, Irlandia, Belanda, hingga Korea Selatan misalnya, dalam beberapa hari terakhir, telah menerapkan kembali penguncian total atau parsial, serta jarak sosial lainnya.
Baca Juga: Bikin Lega, Afrika Selatan: Nihil Sinyal-sinyal Keparahan Omicron
Berbagai rencana untuk pesta dan perayaan Natal pun akhirnya harus dihapus di banyak tempat, mulai dari London hingga New Delhi.
Namun, seperti diwartakan Reuters, 'secercah harapan' tentang tingkat keparahan varian Omicron telah datang para ilmuwan Afrika Selatan. Dari studi mereka, disebutkan bahwa pasien yang terinfeksi Omicron jauh lebih kecil kemungkinannya untuk berakhir di rumah sakit dibanding mereka yang terinfeksi Delta.
Penelitian itu baru dirilis pada Rabu (22/12/2021) oleh Institut Nasional untuk Penyakit Menular Afrika Selatan (NICD).
Studi dari NICD itu juga menyebut bahwa kasus Covid-19 tampaknya telah mencapai puncaknya di Provinsi Gauteng Afrika Selatan, tempat Omicron pertama kali muncul.
Studi itu, yang belum ditinjau oleh rekan sejawat, membandingkan data Omicron Afrika Selatan dari Oktober hingga November dengan data tentang Delta antara April dan November.
"Di Afrika Selatan, ini adalah epidemiologi: Omicron berperilaku dengan cara yang tidak terlalu parah.
"Menariknya, data kami bersama-sama benar-benar menunjukkan laporan positif tentang penurunan keparahan Omicron dibandingkan dengan varian lain," kata Profesor Cheryl Cohen dari NICD.
Disebutkan setelahnya bahwa karena mayoritas orang di Afrika Selatan telah memiliki infeksi Covid-19 sebelumnya, mereka dapat memiliki tingkat kekebalan yang lebih tinggi.
Berita positif ini ikut diamini oleh penelitian dari London's Imperial College. Universitas Inggris itu menyebut risiko perlunya tinggal di rumah sakit untuk pasien dengan Omicron adalah 40-45 persen lebih rendah daripada pasien dengan Delta.
Namun, pejabat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan bahwa terlalu dini untuk menarik kesimpulan tegas ketika strain itu menyebar ke seluruh dunia.
Pimpinan teknis WHO untuk Covid-19, Maria van Kerkhove, mengatakan bahwa badan PBB itu tidak memiliki cukup data untuk menarik kesimpulan tegas. Datanya masih 'berantakan', katanya dalam sebuah pengarahan di Jenewa.
"Kami belum melihat varian ini beredar cukup lama di populasi di seluruh dunia, terutama di populasi yang rentan. Kami telah meminta negara-negara untuk berhati-hati, dan untuk benar-benar berpikir, terutama karena liburan ini akan datang," ujar Van Kerkhove.
Kepala WHO Eropa, Hans Kluge, di Brussel sementara itu, mengatakan bahwa untuk menentukan tingkat keparahan Omicron, peneliti perlu melihat setidaknya tiga sampai empat minggu. Kepada Reuters, Kluge juga menambahkan Omicron kemungkinan akan menjadi jenis virus corona utama di Eropa dalam beberapa minggu.
Diketahui pada Rabu, Inggris telah melaporkan lebih dari 100 ribu kasus harian baru. Lonjakan itu tercatat menjadi yang pertama sejak Inggris meluncurkan pengujian massal, membuat banyak industri berjuang dengan kekurangan staf karena pekerja mengasingkan diri.
Hampir senasib dengan Inggris, Prancis melaporkan hingga 84.272 infeksi baru dalam 24 jam terakhir, level tertinggi sepanjang masa.
"Tidak ada keraguan bahwa Eropa sekali lagi menjadi pusat pandemi global. Ya, saya sangat prihatin, tetapi tidak ada alasan untuk panik. Kabar baiknya adalah... kita tahu apa yang harus dilakukan," kata Kluge.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Adrial Akbar
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: