Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Agar Pertamina Tak Ambruk, Perlu Upaya Penyesuaian Harga BBM Non Subsidi Pertalite dan Pertamax 92

        Agar Pertamina Tak Ambruk, Perlu Upaya Penyesuaian Harga BBM Non Subsidi Pertalite dan Pertamax 92 Kredit Foto: Antara/Makna Zaezar
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pertamina melorot karena ketiadaan penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi yaitu Pertalite dan Pertamax 92.

        Kinerja ini tentu akan semakin melorot, jika pada tanggal 18 September 2021 PT. Pertamina (Persero) melalui PT. Pertamina Patra Niaga, atau Sub Holding Commercial & Trading tidak menaikkan dua produk BBM non subsidi yaitu Pertamax Turbo dan Pertamina Dex. 

        Baca Juga: Momen Nataru, Pertamina Patra Niaga Sumbagut Catat Kenaikan Konsumsi BBM dan Avtur

        Sedangkan Pertamax Turbo (RON 98) yang semula harganya Rp9.850 per liter dinaikkan menjadi Rp12.300 per liter, berarti terdapat perubahan sejumlah Rp2.450 atau sebesar hampir 25%. Kenaikan harga juga diberlakukan kepada Pertamina Dex (CN 53) yang semula harganya Rp10.200 per liter menjadi Rp11.150

        Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi mengatakan memang untuk BBM jenis Pertalite dan Pertamax RON 92 tidak mengalami perubahan dan mengikuti ketentuan yang telah diberlakukan.

        "Padahal konsumsi Pertalite mencapai 70 persen dari total jenis BBM yang diperjualbelikan," ujarnya dalam keterangan tertulis Jumat 14 Januari 2022. 

        Lanjutnya bahwa ketiadaan penyesuaian harga BBM jenis Pertalite dan Pertamax 92 ini akan berpengaruh signifikan terhadap biaya atau beban operasional korporasi. Hal itu juga berakibat pada kondisi aliran kas (cash flow) Pertamina dalam jangka pendek untuk membeli sumber bahan baku yang lebih mahal, sementara harga jual ke konsumen tidak mengalami perubahan.

        "Dalam jangka panjang, implikasinya adalah terkait dengan kebijakan subsidi energi dan transisi energi yang telah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo tentu akan menghambat aksi korporasi BUMN Pertamina dalam mencari sumber pembiayaan ekonomis dan membayar kewajiban kepada pihak ketiga serta melayani masyarakat konsumen sampai ke daerah tertinggal, terdepan, terluar (3T)," paparnya.

        Ia menambahkan bahwa sebelum terlambat agar Pertamina tidak mengikuti jejak kasus ambruknya BUMN Garuda Indonesia, maka selayaknya Presiden Joko Widodo mengambil langkah-langkah yang cepat, cermat dan tepat untuk melakukan penyesuaian harga.

        "Kenaikan harga BBM jenis Pertalite ini penting dalam kerangka mendukung mandat Presidensi G20 pada Presiden Joko Widodo dan komitmen COP26 untuk menyediakan energi bersih dan ramah lingkungan, dan Pertalite masih termasuk dalam jenis BBM yang tidak mendukungnya," jelasnya.

        Sementara Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebut jika merujuk pada Undang-undang (UU) BUMN, maka Pertamina seharusnya tidak boleh lagi menjual rugi produknya. Dalam artian tidak boleh menjual produk di bawah biaya pokok produksi.

        "Jadi kalau Pertamina menjual BBM non PSO seperti Pertalite dan Pertamax 92, maka itu berpotensi melanggar UU BUMN," ujarnya.

        Pemerintah seharusnya tidak melakukan pembiaran untuk menjual rugi produknya, sementara SPBU swasta sudah menaikkan harga bbmnya kepada konsumen.

        Kalau tetap menjual rugi, maka harus dalam bentuk penugasan oleh regulator dan konsekuensinya regulator harus memberikan kompensasi pada operator Pertamina

        "Ini jangan dibiarkan menggantung dan harga dibiarkan merugi serta regulator cuek dan tidak memberikan kompensasi kepada operator. Ini tentu tidak fair," tandasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Alfi Dinilhaq

        Bagikan Artikel: