Untuk menjamin ketersediaan BBM (bensin) yang terjangkau masyarakat luas, sekaligus sebagai pengganti premium yang sudah jarang tersedia, Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto mengusulkan pemerintah menetapkan Pertalite sebagai BBM dalam penugasan.
Artinya pemerintah menugaskan Pertamina untuk menyediakan Pertalite dengan volume dan harga tertentu untuk didistribusikan ke seluruh wilayah NKRI. Selisih antara harga jual dan harga keekonomiannya dan dikompensasi oleh pemerintah.
Baca Juga: Bangun UKMK Sawit Aceh, BPDPKS dan UTU Luncurkan Kewirausahaan Pemuda Berbasis UKMK Sawit
Hal ini perlu dilakukan untuk merespon lonjakan harga migas dunia yang menekan harga migas domestik.
"Memang sekarang ini, resminya BBM dalam penugasan adalah Premium. Namun faktanya BBM jenis ini tidak tersedia di pasar. Akibatnya BBM (bensin) yang tersedia dengan harga terjangkau untuk masyarakyat luas hanyalah BBM umum Pertalite.
Penetapan Pertalite sebagai BBM dalam penugasan ini penting, agar negara hadir menjamin ketersediaan BBM (bensin) dengan harga terjangkau masyarakat luas, tidak menyerahkan seratus persen pada mekanisme pasar.
Dengan penetapan ini, di satu sisi masyarakat tidak dihantui kekhawatiran akan kenaikan harga Pertalite menyusul kenaikan harga migas dunia yang dipicu oleh meletusnya Perang Rusia-Ukraina.
Di sisi lain, Pertamina juga akan menjadi tenang, karena dengan status Pertalite sebagai BBM dalam penugasan, maka berarti tersedia jaminan Pemerintah atas kompensasi selisih harga keekonomian Pertalite dengan harga jual yang ada sekarang ini," jelas Mulyanto.
Mulyanto menambahkan, Perpres Nomor 117 tahun 2021 tentang Penyediaan, Pendistribusian Dan Harga Jual Eceran BBM tertanggal 31 Desember 2021, yang akan mengkompensasi 50 prosen BBM jenis baru, yakni oplosan pertalite dan premium, masih belum terlaksana.
Jadi untuk mudahnya, Pemerintah cukup menetapkan Pertalite ini sebagai BBM dalam penugasan dengan harga tetap seperti sekarang. Selanjutnya didistribusikan ke seluruh wilayah NKRI. Syukur-syukur kelak bisa turun, bila keadaan sudah normal.
"Ini opsi yang lebih sederhana dan implementatif," ujar Mulyanto.
Mulyanto menjelaskan hal ini dimungkinkan, mengingat kenaikan harga migas dunia juga diikuti dengan melonjaknya harga komoditas batubara, CPO, tembaga dan juga nikel. Kebijakan Pemerintah yang tepat akan meningkatkan penerimaan negara dari ekspor komoditas ini.
Apalagi kalau pemerintah segera menetapkan kebijakan pengenaan/peningkatan tarif ekspor atau kenaikan royalti secara progresif sesuai kenaikan harga internasional.
Untuk diketahui ekspor batubara kita terus meningkat baik volume maupun penerimaannya. Pada tahun 2020 sebanyak 342 juta ton dengan penerimaan sebesar USD 14.5 milyar. Pada tahun 2021 menjadi sebanyak 346 juta ton dengan penerimaan sebesar USD 26.5 milyar. Padahal saat itu harga masih di bawah USD 100 per ton. Bisa dibayangkan lonjakan penerimaan di tahun 2022 dengan harga batubara yang mendekati USD 450 per ton.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Alfi Dinilhaq
Tag Terkait: