Seorang Pemuda di Tarakan Cabuli Puluhan Santri Sejak 2016, KemenPPPA Tengah Cari Korban Lainnya
Kasus kekerasan seksual kembali terjadi di salah satu pondok pesantren di Kota Tarakan, Kalimantan Utara (Kaltara) kepada lima santri laki-laki hingga mengalami trauma berat. Pelakunya seorang pemuda berinisial RD (22) yang sudah dianggap santri senior oleh para santri di sana, sehingga para korban tak berani melawan. Padahal, ia tidak terdaftar sebagai santri di Pondok Pesantren tersebut.
Kasus ini baru terungkap setelah salah satu anak yang menjadi korban pelecehan mengadu kepada kakaknya yang juga mengajar di pesantren tersebut. Korban mengaku takut dengan perbuatan tersangka yang selalu meraba area kemaluannya.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga buka suara menanggapi kasus tersebut. Dirinya mengaku sangat menyesalkan kasus kekerasan seksual di pondok pesantren masih terjadi lagi. Pasalnya pelaku selain menjadi santri senior disebut merupakan pendidik.
Baca Juga: Siswi SMP Diperkosa 4 Pria di Kebun Sawit Bengkulu, KemenPPPA Dorong Keadilan Hukum Bagi Korban
“Sangat menyedihkan masih terjadi kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan seharusnya menjadi tempat yang aman dari segala bentuk kekerasan. Tugas pendidik bukan hanya memberi Ilmu saja, tetapi juga menjadi memberikan didikan dan contoh perilaku baik, sopan santun bagi anak murid atau santri serta memberikan perlindungan anak dari segala jenis kekerasan fisik, psikis, seksual, penelantaran dan diskriminasi hak dasar anak di seluruh lembaga pendidikan,” kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga dalam keterangan pers, Kamis (31/03/2022).
Menteri PPPA mengapresiasi keberanian korban santri anak yang usianya antara 8 – 12 tahun mengungkapkan kasus pencabulan yang dialaminya sehingga pelaku dapat segera dapat ditahan oleh Polsek Tarakan Utara. Menteri juga memberikan apresiasi atas respon cepat polisi dan berharap agar pelaku dihukum seberatnya agar ada efek jera bagi pelakunya.
Orang tua diharapkan jangan malu untuk melapor, karena pelaku pencabulan seksual anak kebanyakan dulunya korban, sehingga setiap korban anak harus dapatkan terapi, agar tidak terulang.
Menteri meminta pada pihak sekolah maupun pondok pesantren, lembaga pendidikan berbasis asrama dan keagamaan, agar dapat melakukan rekrutmen pada pengajar tidak hanya melihat secara keilmuan, tapi juga perlu tambahan asesmen psokologi kepada para pengajar.
Hal ini penting, untuk memastikan pencegahan dan menjamin perlindungan terjadinya kekerasan seksual terhadap murid maupun santri, baik di sekolah maupun pondok pesantren.
Untuk itu, sangat diperlukan komitmen Aparat Penegak Hukum (APH) untuk memberikan keadilan dan perlindungan dari kekerasan seksual korban Anak, agar para predator seksual anak tidak bebas berada di lembaga pendidikan, sekolah maupun pondok pesantren. Masyarakat dan orang tua diminta ikut memberikan perhatian dan pengawasan terhadap anak yang dititipkan di setiap lembaga pendidikan.
Menteri mendorong masyarakat terlibat memberikan perlindungan anak, apabila mengetahui, melihat, mendengar sendiri terjadi kekerasan pada anak dan perempuan, cepat kontak ke Nomor 129 SAPA atau kirim pesan ke nomor whatsapp 08-111-129-129.
Asisten Deputi Pelayanan Anak Yang Memerlukan Perlindungan Khusus, pada Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Robert Parlindungan Sitinjak mengatakan berdasarkan pengakuan pelaku, ia tidak mengingat jumlah korbannya. Hal ini karena banyaknya aksi pencabulan yang dilakukannya sejak enam tahun silam atau mulai tahun 2016.
Hingga akhirnya ada lima korban santri anak laki-laki yang berani melapor. Korban anak lainnya diperkirakan masih banyak di Ponpes yang belum mau atau berani melaporkan pengaduan kekerasan seksual yang dialaminya kepada polisi.
Dinas P3AP2KB Kota Tarakan mendamping lima santri yang masih trauma, dan dibantu HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia) Provinsi Kalimantan Utara melakukan tracing assesmen untuk mencari terduga korban lainnya dari sekitar 200-an santri anak pria di Pondok Pesantren Tarakan tersebut. Dinas P3AP2KB Kota Tarakan menduga korbannya masih banyak tidak mau bersuara, karena trauma ketakutan. Pelaku RD saat diperiksa di Polsek Tarakan Utara mengakui perbuatannya.
Robert mengatakan bila terbukti, pelaku predator seksual anak tersebut diduga dijerat dengan pasal berlapis, yaitu melakukan kekerasan, atau ancaman kekerasan, atau memaksa, atau melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan, atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, ancaman hukuman penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar.
Bila terbukti, pelaku seorang marbot yang mendidik pengajian anak dan korbannya lebih satu orang, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana diatas sebagaimana Pasal 76 E UU 35/2014 jo Pasal 82 ayat 1, 2, 4, 5, 6 PERPU 1/2016 jo UU 17/2016 tentang Perlindungan Anak, dan pelaku dapat dikenai tambahan berupa Pengumuman Identitas Pelaku.
“KemenPPPA terus koordinasi dengan Dinas P3AP2KB dan P2TP2A Kota Tarakan terkait pendampingan layanan psikologis terhadap korban anak; dan Kemen PPPA juga terus koordinasi dengan Unit PPA Polres Tarakan, yang asistensi pemberkasan perkara oleh Polsek Tarakan Utara. Minggu depan khusus dilakukan pemeriksaan psikologis pada pelaku, untuk melengkapi berkas perkara penyidikan, yang akan diteliti oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Tarakan,” kata Robert.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rena Laila Wuri
Editor: Fajria Anindya Utami