Terima Unek-unek Pemda, Ibas Harap UU HKPD Dapat Tingkatkan Kinerja Fiskal Daerah
Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Edhie Baskoro Yudhoyono berharap agar Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) memiliki pengaruh besar pada peningkatan kinerja fiskal Pemerintah Daerah.
Hal tersebut disampaikan pria yang kerap disapa Ibas ini dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Banggar DPR RI dengan Ketua Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) dan Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Rabu (6/4/22).
Rapat ini membahas tentang Dampak Pemberlakuan UU HKPD terhadap Peningkatan Kualitas Belanja Daerah dan Optimalisasi Pendapatan Daerah.
“Terima kasih atas presentasi dan aspirasinya atau lebih tepatnya unek-unek ya. Mungkin tidak bisa menang-menangan ataupun kalah-kalahan. Mesti win-win solution,” kata Ibas usai mendengar pemaparan dari pihak APKASI dan APKESI.
Lebih lanjut, Ibas mempertanyakan mengapa hal tersebut baru disampaikan saat ini, ketika UU HKPD sudah disahkan.
“Sebagaimana Fraksi Partai Demokrat memberikan catatan kritis kami ketika pembahasan lalu. Tapi kenapa baru saat ini? Karena UU HKPD ini kan sudah disahkan tinggal aturan teknis lanjutannya saja yang mesti kita tunggu bersama,” ungkapnya.
Menurut Ibas, sama seperti pembangunan yang ada di pusat, daerah pun menginginkan hal yang sama.
“Negara kita ini kurang beruntung, Masih terus berkembang kemudian harus hidup berdampingan dengan pandemi hingga saat ini. Ya kalau Negara saja ada IKN dan PPSN, saya yakin daerah menginginkan hal yang sama dalam ekstra pembangunan.”
Oleh karena itu, menurutnya proses pemulihan dan kebangkitan ekonomi perlu disepakati bahwa negara harus tumbuh ekonominya, meningkatkan pendapatannya, terkelola utangnya, dan pastinya juga memerlukan investasi yang besar bekelanjutan infklusif.
"Hal tersebut agar tidak hanya bertopang pada APBN dan APBD saja. Bukan dimengertikan seperti 'namanya sentralisasi atau otonomi pembangunan daerah terpimpin’ saja,” kata Ibas.
Menurut Ibas sendiri, RDPU ini lebih untuk mendengar sekaligus ajang diskusi lanjutan sebelum aturan turunan lainnya. “Bersyukur atau tidak beryukur itulah perbedaan yang mesti kita cari solusinya,” tegasnya.
Kemudian, Ibas menyampaikan lima pandangannya terkait UU HKPD. Pertama, terkait pengaruh pada fiskal Pemda. “Saya berharap UU HKPD ini berpengaruh besar dalam meningkatkan kinerja fiskal Pemda. Sehingga kita sebetulnya juga ingin mengetahui seberapa besar selisih presentasi penerimaan nyata skema TKDD dibandingkan dengan skema UU HKPD misalkan,” ungkapnya.
Kedua, tentang option gain perpajakan yang akan diterima Pemda. “Kemenkeu menyatakan kinerja keuangan Daerah masih lemah, apalagi ketika dihantam pandemi berkelanjutan. Itu terlihat dari rerata PAD yang hanya berkisar 24,7% saja, seperti yang telah dipresentasikan. Jadi, dengan adanya UU ini bisa tidak Pemda mendapatkan option gain perpajakan?”
“Berapa besar target local tax ratio dan peningkatannya? Idealnya ya meningkat tapi jika tidak mesti kita diskuskian kembali,” imbuh Ibas.
Ketiga, mengenai pola belanja Pemda. Seperti yang diketahui, selama ini Pemda cenderung mengalami penyerapan tinggi pada semester akhir tahun berjalan atau bahkan tidak digunakan. “Nah, dengan adanya UU HKPD ini apakah bisa mengakselerasi penyerapan Pemda sepanjang tahun selain hanya belanja rutin yang dinilai belum mencukupi?”
“Bagaimana persiapan infrastruktur fiskal daerah? Misal kesiapan fasilitas fisik dan Investasi SDM Pemda dalam menjalankan skema pajak tersebut. Sepertinya berat dan tidak mudah ya…” tambahnya.
Keempat, bagaimana Pemerintah Daerah melalui UU ini dapat mendorong peningkatan penerimaan perpajakan di 2022 demi mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Apalagi mengingat tahun 2023 APBN akan kembali pada rezim defisit 3% dari PDB.
“Langkah apa yang diambil Pemda untuk mengantisipasi risiko keluarnya pengusaha besar akibat skema pajak baru berdasarkan UU HKPD? Ingat! Pajak Pengusaha penting, jangan sampai justru skema pajak baru berisiko untuk “mendorong” pengusaha pindah ke daerah atau bahkan negara lain dengan skema pajak yang lebih sesuai dan menguntungkan untuk mereka,” kata Ibas.
Kelima, seberapa besar dampak kondisi pasar komoditas dunia terhadap kinerja penerimaan Pemda tahun ini, terutama untuk daerah kaya penghasil SDA yang merupakan komoditas andalan ekspor. “Apa saja langkah yang telah disiapkan oleh Pemda untuk memanfaatkan dan menstabilkan pendapatan perpajakan di tahun ini?” tanyanya.
Ibas juga menanyakan seberapa besar presentase dari penerimaan Pemda berdasarkan skema pajak UU HKPD akan dialokasikan untuk menciptakan dana abadi (sovereign wealth fund) Provinsi atau Kabupaten Kota yang akan akan memberikan manfaat lintas generasi di daerah.
“Apa saja pos belanja modal yang akan dilakukan oleh Pemda berdasarkan dengan penerimaan skema perpajakan sesuai dengan UU HKPD yang sudah dilaksanakan? Apakah sudah efisien, prioritas dan produktif? Lain Pusat, lain Provinsi, lain Daerah,” tambahnya.
Di akhir pemaparannya, Ibas mengajak untuk tunduk pada aturan yang berlaku termasuk UU. Oleh karena itu harus ada jalan tengah antara Pusat dan Derah. Kepentingan beragam itu harus menuju tujuan besar Merah Putih kita.
“Semoga ada solusi terbaik. Sebagaimana catatan kritis kami selama ini.”
“Jika UU HKPD ini adalah terobosan penting dalam konteks hubungan pusat dan daerah, di mana dunia melihat desentralisasi dan otonomi daerah sebagai ‘big bang’ dan bahkan suatu ‘quite revolution’”, kata Ibas.
“Kami berharap pemerataan pembangunan ini bisa tercapai hingga pelosok Tanah Air, menuju keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia,” tandasnya.
Adapun dalam RDPU tersebut, APEKSI juga menyampaikan catatan rekomendasi terhadap UU HKPD kepada Pemerintah Pusat. Antara lain mempertimbangkan kembali ketentuan pajak dan retribusi daerah yang berpotensi menghilangkan/mengurangi PAD yang tidak sesuai dengan semangat disusunnya UU ini.
Kemudian segera menerbitkan aturan teknis karena masyarakat menantikan keputusan hukum. Mempertimbangkan kembali Anggaran Wajib Belanja Pegawai maksimal 30% dan Anggran Infrastruktur pelayanan publik minimal 40% sehingga daerah dapat menerapkan prinsip otonomi dengan semestinya.
Mempertimbangkan Dana Kelurahan sebagai bagian Dana Transfer Daerah dalam meningkatkan pelayanan publik. Terakhir, membuka ruang konsultasi publik dalam evaluasi pelaksanaan UU ini dan penyusunan aturan teknis
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: