Pemerintah mengusulkan indikator ekonomi makro sebagai asumsi dasar penyusunan RAPBN 2023, diantaranya pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% sampai dengan. 5,9%. Adapun inflasi 2,0% sampai dengan 4,0%, nilai tukar Rupiah terhadap USD Rp14.300 sampai dengan Rp14.800 per USD dan tingkat suku bunga SBN 10 tahun 7,34% sampai dengan 9,16%.
Untuk harga minyak mentah Indonesia diusulkan sebesar USD80 sampai dengan USD100 per barel, lifting minyak bumi 619 ribu sampai dengan 680 ribu barel per hari, dan lifting gas 1,02 juta sampai dengan 1,11 juta barel setara minyak per hari.
Pendapatan negara akan meningkat dalam kisaran 11,19% sampai dengan 11,70% PDB, belanja negara mencapai 13,80% sampai dengan 14,60% PDB serta keseimbangan primer yang mulai bergerak menuju positif di kisaran -0,46% sampai dengan -0,65% PDB.
Selain itu, defisit juga diarahkan kembali di bawah 3% antara -2,61% sampai dengan -2,90% PDB, dan rasio utang tetap terkendali dalam batas manageable di kisaran 40,58% sampai dengan 42,42% PDB.
“Pemerintah mengharapkan dukungan, masukan, dan kerja sama seluruh anggota Dewan dalam pembahasan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2023 tersebut sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku”, ujar Menteri Keuangan di Jakarta akhir pekan ini.
Lebih lanjut katanya, kebijakan fiskal didesain untuk merespon dinamika perekonomian, menjawab tantangan dan mendukung target pembangunan. Peran APBN sebagai instrumen kebijakan fiskal sangat fundamental dalam upaya pengendalian pandemi dan pemulihan ekonomi nasional.
Hal ini salah satunya tercermin dalam anggaran Program Penanganan Pandemi Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) yang senantiasa dialokasikan dari tahun ke tahun, fleksibel menjawab kebutuhan yang dinamis. Seiring dengan pandemi yang bertransisi menjadi endemi tahun ini, peran APBN dirumuskan dengan sangat hati-hati agar dapat optimal mempercepat pemulihan dan penciptaan lapangan kerja, serta menjadi penyerap risiko (shock absorber) dalam menghadapi tantangan global yang saat ini terjadi.
“Risiko dan tantangan ke depan, terutama dari sisi eksternal, perlu terus diwaspadai. Selain pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya selesai, ada dua tantangan besar lain perlu terus menjadi perhatian dan diantisipasi oleh Pemerintah yaitu lonjakan inflasi global, terutama akibat konflik Rusia – Ukraina dan percepatan pengetatan kebijakan moneter global, khususnya di Amerika Serikat," tutur Menkeu.
Selain itu, terdapat potensi risiko lainnya yang terus diwaspadai seperti biaya dana (cost of fund) yang tinggi, kenaikan harga komoditas, dan risiko stagflasi yaitu kondisi dimana terjadi inflasi dan perlambatan ekonomi secara bersamaan. Jika eskalasi risiko global terus berlanjut, perekonomian global dapat menghadapi tiga potensi krisis yaitu krisis pangan, krisis energi dan krisis keuangan.
Untuk merespon kondisi tersebut, APBN didorong berfungsi sebagai shock absorber dengan cara melindungi daya beli masyarakat, menjaga pemulihan ekonomi, dan menjaga fiskal tetap sehat dengan upaya konsolidasi di tahun 2023 yang merupakan tahun pertama defisit maksimal 3% PDB sejak merespons kondisi luar biasa pandemi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Fajar Sulaiman