Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Simplifikasi Cukai Hasil Tembakau Dinilai Bisa Mematikan Pabrik Rokok dan Petani Tembakau

        Simplifikasi Cukai Hasil Tembakau Dinilai Bisa Mematikan Pabrik Rokok dan Petani Tembakau Kredit Foto: Antara/Yusuf Nugroho
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menganggap bila keberadaan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 192 tahun 2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris akan melemahkan daya saing yang berujung mematikan pabrikan rokok menengah kecil. Pasalnya, di dalam PMK 192/2021, pemerintah melakukan penyederhanaan (simplifikasi) dari 10 layer menjadi 8 layer. 

        “Simplifikasi akan melemahkan daya saing yang selanjutnya mematikan pabrikan menengah kecil yang dimulai dari golongan yang dihilangkan layernya karena harus naik ke golongan atasnya akibat peraturan, bukan karena kemampuan dan penambahan produksi,” kata Ketua Umum GAPPRI, Henry Najoan, dihubungi di Jakarta, Selasa (5/7/2022). 

        Henry Najoan menjelaskan, golongan yang naik ke atas, harus membayar cukai yang sangat tinggi,  dan harga jual harus naik pada segmen yang sama yang membuat mereka harus menyiapkan modal yang besar. Selanjutnya, mereka juga harus bersaing dengan pabrikan besar yang sudah mapan. 

        “Ketidakmampuan bersaing dengan golongan besar akan membuat golongan menengah kecil gulung tikar,” terang Henry Najoan. 

        Baca Juga: Permintaan Simplifikasi Cukai Rokok Dinilai Membahayakan Industri Rokok Nasional

        Henry Najoan mengakui, selama ini golongan menengah kecil berkontribusi bagi penyerapan dari petani tembakau lokal. Dengan gulung tikarnya kelompok tersebut, akan membuat tembakau petani lokal tidak terserap. 

        “Ini menunjukkan, petani tembakau akan menjadi salah satu pihak yang terkena dampak dari simplifikasi dan penggabungan golongan,” imbuhnya. 

        Belakangan ini, salah satu pabrikan terbesar gencar mendorong pemerintah untuk melakukan simplifikasi berdasarkan jumlah produksi, dari batasan 3 miliar batang menjadi 2 miliar batang (quota reduction).

        Baca Juga: Sistem Cukai Rokok Kompleks, Penggolongan Perusahaan Lewat Besaran Produksi Dinilai Tidak Efektif

        Menyikapi hal itu, Henry Najoan menegaskan apapun bentuk simplifikasi dan penggabungannya, akan membuat industri hasil tembakau (IHT) legal  terutama menengah ke bawah akan mengalami kontraksi dan melemahkan daya saingnya. 

        “Penurunan batasan produksi pada golongan I dari 3 miliar menjadi 2 miliar batang akan menciptakan gelombang kontraksi yang merugikan IHT golongan kecil dan menengah yang pada gilirannya juga berakibat negatif pada penerimaan negara secara keseluruhan dan dampak negatif ke sektor lain. Karenanya, Kami tidak setuju dengan wacana pengurangan batasan produksi,” tegas Henry Najoan. 

        Dalam konteks itu, GAPPRI berharap rencana simplifikasi dan penggabungan ini sebaiknya ditunda terlebih dulu karena yang lebih penting saat ini, adalah bagaimana pemerintah fokus dan berkomitmen menekan peredaran rokok ilegal sampai ke titik nol. Dengan begitu, penerimaan negara menjadi lebih optimal. 

        “Kami sebagai pelaku yang selama ini taat dengan hukum juga tidak merasa was-was karena harus bersaing dengan rokok ilegal yang harganya jauh lebih murah karena tidak membayar cukai,” kata Henry Najoan. 

        Baca Juga: Sistem Cukai Rokok Kompleks, Penggolongan Perusahaan Lewat Besaran Produksi Dinilai Tidak Efektif

        GAPPRI juga berharap agar sebaiknya duduk bersama untuk membuat kebijakan yang adil terhadap kelangsungan IHT legal. Pasalnya, IHT selama ini telah  menjadi sumber mata pencaharian 5,98 juta orang pekerja. Jumlah tersebut terdiri dari 4,28 juta pekerja di sektor manufaktur dan distribusi, serta 1,7 juta bekerja di sektor perkebunan. 

        “IHT juga memberi kontribusi penerimaan negara dari cukai yang mencapai rata-rata 10% dari total penerimaan perpajakan. Di tahun 2021, cukainya Rp188,3 Triliun. Belum lagi dari pajak rokok, PPN HT, dan PPh,” ujar Henry Najoan. 

        Akademisi Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung, Mudiyati Rahmatunnisa berpandangan,  IHT  merupakan sektor ekonomi yang sangat strategis dan menjadi sektor andalan bagi Negara. Pasalnya, IHT telah menyumbang 10% dari total pendapatan negara. Tahun lalu pendapatan dari cukai hasil tembakau (CHT) lebih dari 160 triliun. Sementara, target 2022 lebih kurang 209 triliun. 

        Mudiyati menilai, kebijakan kenaikan cukai yang eksesif jelas sangat berat bagi kelangsungan IHT. Kenaikan CHT sudah memangkas secara signifikan jumlah pabrikan. Data resmi menunjukan, tahun 2007 jumlah pabrik rokok sekitar 4.000. tahun 2018, jumlah pabrik rokok berkurang menjadi 600, itu juga yang aktif berproduksi setiap hari sekitar 100 pabrik. 

        Rencana penyederhanaan (simplifikasi) tarif cukai yang marak belakangan ini juga menjadi perhatian Mudiyati. Menurutnya, simplifikasi  akan menghantam keras pabrikan menengah kecil. Pabrikan besar relatif bertahan, namun diprediksi akan mengalami penurunan produksi. Simplifikasi akan semakin memperketat persaingan industri. 

        “Kebijakan kenaikan cukai yang eksesif dan simplifikasi memiliki potensi memperkuat oligopolistik di sektor IHT. Pasalnya, nggak semua bisa bertahan. Pada akhirnya akan ada pemusatan atau penguasaan industri oleh sejumlah kecil pemain. Dan long term, penurunan jumlah pabrikan dan produksi pada akhirnya akan berdampak pada penurunan pendapatan dari CHT,” terang Mudiyati. 

        Mudiyati menambahkan, dampak penerapan simplifikasi lainnya adalah kekhawatiran pabrikan yang tutup akan masuk ke rokok ilegal demi untuk bertahan (survival). Di lain sisi,  peredaran rokok ilegal sudah sangat memprihatinkan akibat kenaikan cukai hasil tembakau. 

        “Simplifikasi berpotensi memperburuk peredaran rokok ilegal yang justru akan merugikan penerimaan Negara,” tegasnya. 

        Mudiyati pun mewanti-wanti agar pemerintah dalam melakukan pengaturan IHT perlu kajian komprehensif dan hati-hati, jangan hanya mempertimbangkan sektor yang terbatas. 

        “Kajian komprehensif untuk menghindari konsekuensi yang tak diinginkan (unintended consequences) yang justru akan mengurangi efektivitas kebijakan pemerintah nantinya, karena menimbulkan dampak negatif di sektor lain,” kata Mudiyati. 

        Kepala Subdirektorat Tarif Cukai dan Harga Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Akbar Harfianto mengatakan, penyederhanaan (simplifikasi) tarif cukai telah dilakukan sejak tahun 2010, dari 20 layer tarif sampai dengan tahun 2022 menjadi 8 layer tarif. 

        Menurut Akbar, tujuan simplifikasi adalah untuk optimalisasi penerimaan negara, pengendalian konsumsi, serta kemudahan pemungutan/pengawasan hasil tembakau. 

        “Untuk kebijakan layer ke depan, pemerintah masih melakukan kajian secara komprehensif dengan berbagai pertimbangan dan masukan stakeholder terkait,” kata Akbar. 

        Sementara itu, legislator Fraksi PKB DPR RI, Nur Nadlifah meminta pemerintah bersikap independen dan memperhatikan kesejahteraan para petani tembakau serta pekerja saat merumuskan kebijakan terkait industri hasil tembakau (IHT). Pasalnya, banyak pihak yang mendorong pemerintah untuk mengambil kebijakan yang mengancam keberlangsungan IHT melalui kampanye-kampanye hitam antitembakau. 

        “Kampanye hitam itu ingin menghancurkan IHT dalam negeri melalui berbagai tuduhan yang belum tentu faktual dan bahkan menyudutkan, seakan-akan industri ini adalah sebuah dosa besar. Ini sangat disayangkan mengingat jutaan orang menggantungkan hidupnya pada industri ini," tegas Nur Nadlifah. 

        Menurut anggota Komisi IX DPR RI itu, tidak ada negara lain yang model sektor pertembakauannya seperti di Indonesia karena jenis rokok kretek itu budaya asli kita. 

        “Tekanan di satu sisi pasti akan berdampak pada seluruh ekosistem industri. Maka itu, kita harus ingat dan memegang teguh netralitas dalam proses penyusunan kebijakan. Jangan mau diintervensi atau diprovokasi,” terang Nur Nadlifah. 

        Oleh karena itu, Nur Nadlifah meminta pemerintah hati-hati mengambil kebijakan terkait industri ini. Jangan sampai ada intervensi dari pihak tertentu. 

        “Pemerintah harus berpihak ke petani dan pekerja, apalagi pekerja linting sigaret kretek tangan (SKT),” tukasnya. *

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Annisa Nurfitri
        Editor: Annisa Nurfitri

        Bagikan Artikel: