Kenaikan Harga BBM Jadi Ajang Pertaruhan Puan Maharani untuk Maju di Pilpres 2024
Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) membuat masyarakat turun ke jalan untuk menuntut pembatalan keputusan tersebut.
Satu momen unik terlihat saat para buruh yang demo di depan gerbang DPR RI membawa foto Ketua DPR RI Puan Maharani yang sedang menangis.
Foto itu tampaknya sengaja dibawa para pendemo untuk mengingatkan Puan agar konsisten dalam merespons persoalan yang sama.
Puan ditantang pendemo untuk menentang kebijakan Presiden Jokowi menaikkan harga BBM dengan tetesan air mata.
Sebagaimana dia menentang di era Predsiden ke-6 Susilo Bambang Yodhoyono (SBY).
Mengenai hal ini, Pengamat komunikasi dan politik Jamiluddin Ritonga angkat bicara.
"Tuntutan pendemo sangat wajar mengingat jabatan Puan saat ini sebagai Ketua DPR RI," ujar Jamiluddin dilansir dari GenPI.co, Rabu (7/9).
Menurutnya, sudah fungsinya untuk mengawasi kebijakan yang diambil eksekutif.
"Untuk itu, Puan seharusnya mendengarkan sungguh-sungguh aspirasi rakyat terkait kebijakan yang diambil eksekutif," tambahnya.
Kalau rakyat menolak kebijakan eksekutif, sudah seharusnya Puan memperjuangkannya untuk membatalkan kebijakan eksekutif tersebut.
Akademisi dari Universitas Esa Unggul itu mengatakan, Puan tidak seharusnya memahami kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM sementara mayoritas rakyat menolaknya.
Baca Juga: Jokowi Naikan Harga BBM, Cuitan Mardani PKS Tegas: Rakyat Tidak Perlu IKN!
"Di sini Puan jelas sangat tidak aspiratif dan tidak melaksanakan fungsi pengawasan," tegasnya.
Hal itu akan menyulitkan rakyat untuk menilai layak menjadi presiden atau tidak.
"Rakyat akan khawatir Puan akan mengabaikan suara rakyat bila nantinya menjadi presiden," ungkapnya.
Oleh karena itu, bila Puan Maharani ingin sukses menjadi capres dan kelak akan terpilih, saat inilah momen yang tepat menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang aspiratif.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Bayu Muhardianto