Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Ekonomi Global Suram, LPS Nilai Empat Tantangan ini Bakal Dihadapi Perbankan

        Ekonomi Global Suram, LPS Nilai Empat Tantangan ini Bakal Dihadapi Perbankan Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Di tengah ketidakpastian global dan ekonomi yang masih tinggi, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyoroti berbagai tantangan ke depan bagi sektor perbankan untuk dapat memperkuat stabilitas sistem keuangan. Seperti diketahui, perekonomian global dihadapkan pada ketidakpastian dan kemungkinan terjadinya resesi akibat dari persoalan geopolitik, meningkatnya inflasi, hingga krisis sumber daya energi.

        Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, tantangan pertama yang perlu dicermati adalah tantangan-tantangan yang ada pada tatanan global. Meskipun sudah mulai mereda, seperti pandemi dan disrupsi rantai pasok, namun kenaikan inflasi, kenaikan harga energi, dan perlambatan ekonomi global seperti Amerika Serikat dan Tiongkok serta kenaikan suku bunga secara global masih menjadi penyebab tingginya ketidakpastian.

        “Berbagai lembaga internasional tetapi memperkirakan ekonomi global tumbuh 2,9% sampai dengan 3,2% pada tahun 2022. Di 2023 juga ekonomi global diperkirakan hanya gak jauh beda dengan yang sekarang di Kisaran 2,8% sampai dengan 3% perlambatan ekonomi yang dikombinasikan oleh kenaikan harga dapat memicu risiko terjadinya stagflasi di beberapa negara,” ujar Purbaya dalam webinar 'Kiprah LPS dalam Stabilisasi dan Penguatan Sektor Keuangan' di Jakarta, Kamis (6/10/2022). Baca Juga: Jaga Momentum, LPS Naikkan Tingkat Bunga Penjaminan 25 bps

        Tantangan kedua, kata Dia adalah literasi keuangan yang masih rendah. Berdasarkan survei OJK tahun 2019 indeks inklusi keuangan nasional berada pada level 76,19%, sementara indeks literasi keuangan berada pada level 38,03%.

        “7 dari 10 masyarakat Indonesia telah memiliki akses kepada produk dan jasa keuangan namun hanya 4 dari 10 orang yang memahami apa itu produk dan jasa keuangan artinya terdapat gap yang signifikan antara inklusi dengan literasi keuangan nasional. Pemahaman masyarakat yang terbatas atas produk keuangan menyebabkan timbulnya berbagai risiko seperti penipuan yang berdampak buruk kepada masyarakat,” ungkapnya.

        Lebih lanjut, tantangan ketiga yaitu digitalisasi. Perkembangan digital meningkat begitu pesat sehingga memunculkan segmen-segmen di dalam ekonomi dan keuangan dan dapat menimbulkan berbagai kejahatan siber bila literasi keuangan digital tidak dioptimalkan. Disisi lain, sektor perbankan juga diminta untuk terus memperkuat sistem informasi agar infrastruktur perbankan memumpuni untuk mencegah terjadinya kejahatan siber.

        “Kita mengetahui bahwa kian hari risiko cyber security akan meningkat, apalagi masyarakat tidak memiliki literasi tinggi secara digital kasus-kasus seperti scamming, phishing, ransomware dan kejahatan-kejahatan keuangan lain melalui cyber,” ucap Purbaya.

        Terakhir, pendalaman pasar keuangan di Indonesia yang masih rendah dibandingkan dengan dengan negara-negara tetangga. Purbaya merinci, kapitalisasi pasar modal Indonesia di tahun 2020 masih di 46,9% terhadap PDB. Sementara, Filipina sudah berada pada level Thailand 108,7% dan Malaysia 129,5%. Kemudian, rasio finansial sistem deposit Indonesia per 2021 masih rendah dalam level 41,2% pada PDB, sementara itu yang lebih tinggi Filipina sebesar 77,7%, Malaysia 122,6% dan Thailand 135,6%.

        “Pendalaman pasar keuangan ini perlu terus ditingkatkan supaya peran pasar keuangan sebagai sumber pembiayaan pembangunan semakin tinggi dan tidak tergantung terhadap dana asing dalam pembangunan nasional,” tegasnya.

        Sejak berdirinya LPS tahun 2005, Indonesia telah mengalami berbagai macam krisis, seperti Subprime Mortgage & Lehman Brothers pada 2007-2008, Global Financial Crisis (GFC) pada 2009-2010, Krisis Fiskal Eropa pada 2011-2012 hingga pandemi COVID-19 pada 2019 sampai sekarang.

        Kendati demikian, sektor keuangan di tanah air tetap terjaga dan solid, karena di tengah rangkaian krisis itu, kredit dan Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan terus tumbuh. Hal ini sekaligus mencerminkan kepercayaan masyarakat terhadap sektor keuangan yang tetap terjaga.

        "Keberadaan LPS memberikan keyakinan dan kepercayaan masyarakat kepada bank dan sektor keuangan," tambah Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah dalam diskusi yang sama. Baca Juga: Permintaan Pembiayaan Meningkat, Kredit Perbankan Semringah di Agustus 2022

        Piter mengungkapkan, kemampuan untuk mampu bertahan di tengah gelombang krisis, termasuk krisis pandemi ini, ditunjukan dengan indikator kinerja bank umum konvensional yang meningkat per Juni 2022, yakni CAR 24,72%, BOPO 78,46%, LDR 81,63%, NIM 4,78%, ROA 2,38%, NPL 2,86%.

        Termasuk empat bank terbesar Indonesia pada semester I 2022 yang mampu mencatatkan laba bersih yang luar biasa besar bahkan di tengah krisis, diantaranya BRI Rp24,79 triliun, Mandiri Rp20,21 triliun, BCA Rp18,05 triliun, BNI Rp8,8 triliun.

        “Sekali lagi saya ingin menegaskan hal ini tidak lepas dari kiprah LPS, peran besar LPS menjaga keyakinan masyarakat terhadap sektor keuangan kita,” pungkasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Fajar Sulaiman
        Editor: Fajar Sulaiman

        Bagikan Artikel: