Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Visi Indonesia Emas 2045 dari Sudut Pandang Problem Tembakau: Mampukah Tercapai?

        Visi Indonesia Emas 2045 dari Sudut Pandang Problem Tembakau: Mampukah Tercapai? Kredit Foto: Antara/Aji Styawan
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Indonesia, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, memiliki misi mulia yang berada di bawah payung Visi Indonesia Emas 2045. Dalam visi tersebut, Indonesia bercita-cita mewujudkan tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia yang lebih baik dan merata dengan kualitas manusia yang lebih tinggi. Namun, bila dilihat dari sudut pandang problem tembakau,  cita-cita tersebut masih seperti angan-angan.

        Adviser Indonesia Institute for Social Development (IISD) Sudibyo Markus menyoroti soal Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

        "PP ini masih menghadapi masalah yang antiklimaks. Bahaya nikotin ini harus dihadapkan dengan target cita-cita nasional Indonesia Emas 2045," kata Sudibyo dalam diskusi daring bertajuk Peredaran Produk Tembakau Tanpa Kendali: Rapor Merah 2022 Pemerintahan Jokowi-Amin, Jumat (25/11/2022).

        Baca Juga: Rokok dan G20: Ajang yang Kontradiktif dengan Kebanggaan yang Digaungkan

        Mulanya, untuk mempercepat proses revisi PP 109/2012, Kementerian Kesehatan RI diharapkan kembali mengajukan Izin Prakarsa ke Presiden Jokowi pada 2022. Namun, wacana ini tak terealisasi hingga detik ini.

        "Isu rokok sepertinya memang tidak masuk ke dalam agenda prioritas utama Presiden Jokowi," ujarnya.

        Pada hakikatnya, PP 109/2012 telah mengatur instrumen-instrumen dasar yang legal terkait penanganan masalah tembakau. Akan tetapi, implementasi instrumen-instrumen tersebut tak berfungsi secara optimal. Menurut Sudibyo, hal ini menunjukkan bagaimana kebijakan yang menaungi problem tersebut terbilang lemah. Artinya, fungsi kenegaraan tak berjalan dengan baik.

        "Jika memang ada deadlock antar kementerian/lembaga, Presiden seharusnya mengambil inisiatif untuk melakukan ratas kabinet dan memimpin jalannya diskusi. Seperti ketika Pemerintah RI menangani kasus Covid-19," jelas dia.

        Meski PP telah ada sejak 2012, namun distribusi produk rokok masih merajalela. Iklan rokok juga masih bertebaran di mana-mana. Dampak lanjutan dari kondisi ini adalah produk rokok dapat diakses oleh anak di bawah umur.

        Berdasarkan data yang disajikan oleh Kepala Pusat Studi Center of Human and Economic Development ITBAD Jakarta, Roosita Meilani Dewi, tingkat prevalensi perokok pemula di rentang usia 10-18 tahun saat ini berada di angka 9,1%. Melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah menargetkan angka tersebut turun menjadi 8,7% pada 2024. 

        Akan tetapi, visi itu sepertinya juga masih jauh dari harapan. Meski Pemerintah Indonesia secara konsisten menaikkan cukai rokok tiap tahun, namun upaya tersebut belum cukup untuk mengatasi persoalan prevalensi perokok.

        "Walaupun selalu ada kenaikan cukai tiap tahun, tapi prevalensi [perokok] masih tidak turun," ujarnya. 

        Menimbang berbagai faktor tersebut, Sudibyo pesimistis terhadap mimpi Indonesia Emas 2045.

        "Jika kondisi terus seperti sekarang, jangan harap Visi Indonesia Emas 2045 dapat tercapai," pungkasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Imamatul Silfia
        Editor: Rosmayanti

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: