Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        CENTRIS Ungkap Banyak Negara Menentang Kebijakan Lockdown di China

        CENTRIS Ungkap Banyak Negara Menentang Kebijakan Lockdown di China Kredit Foto: Reuters/Thomas Peter
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pemerintah China yang dikontrol dan dikuasai oleh Partai Komunis China, diketahui mengambil kebijakan non mainstream untuk mengentaskan pandemi Covid-19 di negaranya.

        Saat seluruh dunia bergerak menuju normalitas, Tiongkok bersikukuh dan memaksakan kebijakan nol Covid, yang akhirnya ditentang oleh mayoritas rakyat China.

        Bukan hanya warga negaranya, tindakan Beijing me-lockdown total seluruh aktifitas masyarakat, juga mengundang kamarahan dan kecaman dari seluruh dunia.

        Menteri Luar Negeri Inggris James Cleverly mengatakan unjuk rasa spontan dan masal terhadap kebijakan Presiden Xi Jinping serta Partai Komunis China seantero Tiongkok,  adalah bukti bahwa rakyat China tidak senang dengan kebijakan lockdown.

        “Ini adalah suara rakyat China yang mengambil alih pemerintahan. Adalah tepat bagi pemerintah China untuk mendengarkan apa yang dikatakan orang-orang ini.” kata Cleverly beberapa waktu lalu.

        Senada dengan Inggris, Gedung Putih mengatakan Amerika Serikat terus memantau dengan cermat perkembangan di China dan akan terus berdiri paling depan dalam mendukung hak-hak demonstran rakyat China yang damai.

        Koordinator Komunikasi Strategis Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih, John Kirby mengatakan dalam konferensi pers, tentang pesan Amerika Serikat untuk protes damai di dunia adalah sama dan konsisten.

        “Orang China harus diberi hak untuk berkumpul dan memprotes secara damai terhadap kebijakan atau undang-undang atau perintah. Kami mengawasinya dengan cermat ke mana arahnya dan kami terus berdiri dan mendukung hak untuk protes damai.” Kata John Kirby.

        Kirby mengatakan Presiden Joe Biden terus mengikuti apa yang terjadi di China. Keyakinan kuat Presiden Joe Bisan pada kekuatan demokrasi dan institusi demokrasi adalah hal penting yang tidak berubah.

        “Ini adalah momen untuk menegaskan kembali apa yang kami yakini terkait dengan kebebasan berkumpul dan protes damai. Kami telah melakukannya dan kami akan terus melakukannya.” Ungkap Kirby.

        Sementara mantan Perdana Menteri Australia, Kevin Rudd, menyebut protes yang belum pernah terjadi sebelumnya di berbagai kota di China terhadap kebijakan nol Covid, berasal dari ketidakpercayaan rakyat China terhadap rezim Presiden Xi Jinping.

        Kevin Rudd mengatakan protes atau unjuk rasa rakyat China saat ini terlihat lebih dari tindakan penolakan kebijakan nol Covid, namun ada hal mendasar lainnya.

        “Ini sekarang adalah metafora untuk ketidakpercayaan yang lebih luas di pihak rakyat Tiongkok terhadap berbagai aspek dari apa yang dilakukan rezim Xi Jinping. Tampaknya demo ini tidak terkoordinasi secara terpusat, dengan kata lain ini spontanitas rakyat China,” kata Rudd.

        Melihat hal ini, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (Centris) menilai sangat wajar jika negara-negara dunia mengkritisi kebijakan nol Covid oleh otoritas Tiongkok, mengingat telah banyak korban jiwa akibat lockdown ketat yang dilakukan Beijing.

        Peneliti senior Centris, AB Solissa menyebut selain dapat membunuh rakyatnya sendiri, keselamatan warga negara asing di China juga menjadi konsen negara-negara dunia yang memiliki perwakilan di Tiongkok.

        “Tewas terbakarnya 10 warga China di apartemen yang terbakar dan dikunci oleh Otoritas Tiongkok, menjadi momentum bagi rakyat untuk lantang bersuara menentang Xi Jinping,” kata AB Solissa kepada wartawan, Kamis, (15/12/2022).

        Demonstrasi besar-besaran di China, lanjut AB Solissa, adalah puncak kemarahan rakyat terhadap pemerintah khususnya Partai Komunis China, yang selama ini telah membatasi semua hak asasi manusia dan kebebasan di Xinjiang, Hong Kong, dan di seluruh China.

        “Banyak yang memandang gelombang unjuk rasa ini bukan hanya tentang krisis kesehatan masyarakat, namun krisis hak asasi manusia yang direnggut oleh Partai Komunis China,” tutur AB Solissa.

        China sebenarnya telah berulang kali disarankan oleh berbagai kalangan internasional untuk mempertimbangkan kembali kebijakan vaksinasi dan fokus pada vaksinasi orang yang paling rentan.

        Akan tetapi, cakupan  vaksinasi yang rendah di antara orang tua dijadikan alasan utama Beijing melakukan lockdown hampir sebagian besar rakyat China, diseluruh wilayah Tiongkok.

        Lockdown semakin diketatkan oleh otoritas Tiongkok,  setelah  muncul varian virus yang lebih menular sebagai upaya pencegahan penyebaran penyakit tersebut.

        “Ironisnya, Beijing hingga saat ini belum meminta bantuan kepada negara-negara dunia khusunya Amerika Serikat yang menjadi pemasok vaksin Covid terbesar di dunia,” ungkap AB Solissa.

        Senator Ted Cruz yang didapuk menjadi anggota Komite Hubungan Luar Negeri Senat Amerika Serikat mengatakan bahwa sejak pandemi dimulai, Partai Komunis China berusaha mati-matian untuk menutupi asal usul, sifat, dan akibat dari Covid-19.

        Ted menilai Beijing telah berbohong dan terus berbohong kepada dunia, sehingga jutaan nyawa telah hilang dan penderitaan yang luar biasa telah terjadi gegara Covid asal China.

        “Wajar jika banyak negara dunia yang marah dengan China. Lihat saja demo kemarin di media, rakyat sudah berani mengkritisi bahkan meminta kediktatoran seumur hidup Xi Jinping dan Partai Komunis China segera di bubarkan,” tutur AB Solissa.

        Tindakan Xi Jinping juga dinilai dapat menghancurkan perekonomian China, seperti prediksi Kepala eksekutif Dana Moneter Internasional, Kristalina Georgieva, yang menyatakan ke khawatirannya melihat ‘keras kepalanya’ Beijing.

        Lockdown ketat di China telah memperlambat pergerakan sosial dan ekonomi. IMF memperkirakan ekonomi Tiongkok tidak akan tumbuh lebih dari 2,3 persen di 2022, tingkat di bawah rata-rata global.

        “Anehnya, China tetap teguh pada strategi nol Covid-nya dan menolak untuk mengakses vaksin yang lebih ampuh dari negara-negara dunia, ini ada apa?” pungkas AB Solissa.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: