Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Eggi Sudjana Beri Komentar Menohok: 'Jokowi Membangkang dan Layak Dimakzulkan, Mahfud MD 'Iblis'

        Eggi Sudjana Beri Komentar Menohok: 'Jokowi Membangkang dan Layak Dimakzulkan, Mahfud MD 'Iblis' Kredit Foto: Instagram/Eggi Sudjana
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Aktivis muslim senior Eggi Sudjana menyebut langkah Presiden mengeluarkan Perppu No 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja telah menambah buruk presiden dalam mengeluarkan Perppu yang tidak masuk akal.

        "Rezim Jokowi ini terlalu banyak Perppu yang irrasional, yang dipaksakan berdalih kegentingan yang memaksa," kata Eggi.

        Ia mencontohkan Perppu Ormas yang menurutnya hanya bertujuan untuk mencabut BHP HTI. Saat itu tidak ada kegentingan, tidak ada kekosongan hukum, tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan berdasarkan UU Ormas.

        "Kalau tujuannya untuk mencabut BHP HTI, sudah ada rincian norma dalam UU No 17 Tahun 2013 tentang Ormas , mulai dari pemanggilan, mediasi, pemberian surat teguran, pembekuan sementara, hingga proses permohonan pencabutan oleh Jaksa selaku wakil Negara," tambahnya.

        Kenyataannya, tambahnya, aturan yang lengkap itu tidak dipakai. Berdalih kegentingan yang memaksa, Perppu No 1 Tahun 2017 Tentang Ormas diterbitkan. Dengan dalih asas 'Contrarius Actus', akhirnya BHP HTI dicabut tanpa proses persidangan.

        "Sekarang, rezim Jokowi kembali mengeksploitasi nomenklatur 'Kegentingan Yang Memaksa' untuk melawan putusan Mahkamah Konstitusi. Padahal tegas, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja “inkonstitusional bersyarat”,' jelasnya.

        Amar Mahkamah Konstitusi memerintahkan kepada Pemerintah dan DPR untuk memperbaiki UU Cipta Kerja selama dua tahun, sejak diputuskan pada tanggal 25 November 2021. MK Juga menyatakan jika hal ini tidak dilakukan, maka UU Cipta Kerja menjadi inkonatitusional permanen dan 79 UU yang direvisi secara omnibus oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali.

        "Saya tidak mau mengajari Jokowi soal apa itu kegentingan yang memaksa. Tapi saya berkepentingan untuk menyampaikan pendapat hukum kepada Mahfud MD selaku Menkopolhulam yang mengatakan Perppu Cipta Kerja menganulir keputusan MK. Saya jadi blo'on karena kesulitan untuk memahami pernyataan Mahfud MD ini," tegasnya.

        Padahal, lanjut Eggi, berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU 8/2011 Tentang MK menyebutkan bahwa putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan berlaku seketika dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan MK mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).

        Lalu, bagaimana bisa ada Perppu yang melawan keputusan Mahkamah Konstitusi?

        Secara formil, Perppu No 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja jelas jelas menyalahi prosedur penerbitan Perppu karena tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam pasal 22 UUD 1945 Jo Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.

        Secara materil, terbitnya Perppu No 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja jelas-jelas merupakan tindakan subversif kepada Konstitusi karena menihilkan eksistensi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020, yang secara langsung juga melakukan subversi kepada konstitusi.

        "Presiden Jokowi telah secara nyata melakukan perbuatan tercela karena telah melecehkan, membangkang dan melakukan subversi kepada konstitusi. Karenanya Presiden Jokowi layak dimakzulkan," terangnya keras.

        "Kalaupun tidak dimakzulkan semestinya Presiden Jokowi tahu diri punya rasa malu dan mau mengundurkan diri, akan tetapi sayang sepertinya Presiden tidak punya rasa malu lagi,"

        "Melalui tulisan ini, saya menghimbau agar Saudara Mahfud MD selaku pihak yang juga punya andil dan bertanggungjawab atas terbitnya Perppu, yang masih memiliki malu untuk mengundurkan diri dari jabatannya selaku Menkopolhukam. Mengingat, Mahfud MD tentu paham Tap MPR No 6 Tahun 2001 yang menghimbau pejabat publik dan elit politik jika melanggar etika dan peraturan dipersilahkan untuk mengundurkan diri," jelasnya.

        "Melakukan pelecehan terhadap putusan MK, membangkang pada konstitusi bahkan melakukan tindakan subversif pada konstitusi jelas-jelas tak punya etika dan tak bermoral, karena adanya MK dengan tidak ada MK sama saja dengan pembubaran lembaga MK itu sendiri, untuk itu Mahfud MD wajib turut bertanggungjawab atas tindakan Subversiv kontitusi ini,"tegasnya.

        "Kalau tidak mau mundur, saya khawatir Mahfud MD 'menjadi iblis' karena terlalu asyik dan nyaman didalam sistem Rezim kekuasaan Jokowi. Bukankah Mahmud MD sendiri yang mengingatkan atau sering bicara Tap MPR no 6 thn 2021 , jadi jelas sangat mengkhawatirkan negeri ini dipimpin oleh gerombolan iblis," pungkasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: