Content creator atau pembuat konten kini telah menjadi salah satu jenis pekerjaan yang marak dilakukan di kalangan anak muda. Tentunya menjadi content creator tidak terlepas dari pembuatan konten atau content creation. Praktisi Sustainable Living & Content Creator Astri Puji Lestari menyampaikan, dalam pembuatan proses men-generate topik atau ide untuk disuguhkan kepada audiens, di dalamnya memuat informasi yang dapat diakses dan dihadirkan dalam suatu format konten.
Format konten pun bermacam-macam. Di era digital format konten biasanya ada dalam berbagai bentuk, termasuk podcast, blog, infographic, video, foto, microblog, poster, buku, newsletter, dan lainnya. Setiap format konten ini juga membutuhkan social platform-nya masing-masing, seperti media sosial Facebook, Instagram, YouTube, Twitter, TikTok, WeChat, dan lainnya.
Baca Juga: Bursa Aset Digital Luno Lakukan PHK Massal, Bagaimana Nasib Operasinya di Indonesia?
Mengutip data pengguna internet dan media sosial di Indonesia, Astri menyebut bahwa saat ini pengguna internet di Indonesia telah mencapai sebanyak 204,7 juta dengan pengguna media mencapai 191,4 juta. Dengan sekitar 95% pengguna internet adalah pengguna media sosial, Astri mengatakan bahwa rata-rata mereka menggunakan media sosial sebanyak empat jam per harinya. Astri mengatakan bahwa content creator harus mengingat dan memanfaatkan data ini.
"Berbeda dengan di sekolah yang menuntut ilmu, ini kita menuntut apa sih empat jam dalam sehari? Artinya orang sudah menginvestasikan waktu di dalam media sosial, terus kita sebagai content crator mau kasih apa? Makanya penting banget kita harus punya konten yang purposeful, punya value yang baik. Karena apa yang kita sajikan bisa memengaruhi cara pandang dan berpikir orang," tutur Astri pada sesi Content Creation: Plan, Produce, Publish dalam acara Every U Does Good Heroes Summit 2022, Minggu (29/1/2023).
Adapun Astri turut menyebut adanya perubahan tren yang juga perlu diperhatikan. Yang pertama tren dari para pembuat konten telah berubah menjadi lebih inklusif, di mana saat ini siapa saja dapat membuat konten hanya dengan bermodalkan smartphone saja untuk bisa membuat konten digital. Hal ini turut dipengaruhi oleh penilaian konsumen yang menginginkan konten yang makin mendekati realitas yang sebenarnya yang lebih menarik perhatian dan lebih engaging.
"Yang kedua, attention span-nya jadi sedikit. Kalau zaman dulu kalau ngomongin video terbiasa dengan YouTube dan pada saat itu YouTube bisa 20-30 menit, kalau sekarang setelah ada reels, TikTok, bahkan video di bawah 30 detik pun ternyata bisa kasih nilai jual yang tidak kalah dari YouTube," ujar Astri.
Tambahnya, "Terus online persona. Online persona ini bisa alter ego. Sebenarnya bukan alter ego, kita bisa jadi diri kita sendiri, tapi kan kalau ngomongin social media buat aku itu selalu tiga hal. Sosial media buat aku adalah terkurasi, filter, dan teredit. Jadi jangan terlalu percaya sosial media karena itu mungkin bukan berarti bohong, tapi memang tidak bisa menyajikan 100% kehidupan seseorang, karena dia akan selalu mengkurasi, mengedit, dan men-filter apa yang dia omongin, apa yang dia tampilkan, dan segala macam."
Selanjutnya, Astri menyebutkan bahwa untuk pembuatan dan konsumsi konten, konten video masih akan mendominasi di masa mendatang. Selain itu, juga ada perubahan terhadap target audiens yang makin melokal, menargetkan masyarakat lokal. Sementara itu, Astri tidak lupa menerangkan terhadap tiga warning atau peringatan dari media sosial saat ini yang juga dirasakannya.
Baca Juga: Rekomendasi Strategis Meta untuk Rencana Kampanye Produk dan Konten Jelang Ramadan 2023
"Yang pertama adalah burnout. Kita bisa ngasih adiksi dan kita bisa ngasih ilusi untuk setiap konsumennya kita, sama setiap orang yang mengonsumsi media sosial kita. Kalau ngomongin adiksi, apapun yang sifatnya adiksi itu tidak baik. Sosial media itu memberikan adiksi makanya penting banget untuk punya tujuan yang benar sebagai pembuat konten, karena kita ngasih adiksi dan ilusi," ujar Astri.
"Yang kedua kita jadi suka memvalidasi sesuatu terus kita jadi self-obsessed dengan sesuatu. Jadi balik lagi, sebelum kita bikin sesuatu, kita perlu tahu sebenarnya akibat dari sosial media itu apa sih," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Tri Nurdianti
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: