Pemerintahan Presiden Jokowi Tak Perlu Takut dengan Koalisi Perubahan, Demokrat: Ini Kan Harapan Rakyat
Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat mengatakan pemerintahan Presiden Jokowi yang mengklaim bahwa sekarang telah menjadi pendukung perubahan dan sudah melakukan perubahan, seharusnya tidak perlu alergi dan khawatir dengan Koalisi Perubahan.
“Pertama, kalau merasa pemerintah sekarang pendukung perubahan dan sudah melakukan perubahan, seharusnya tidak perlu alergi dan khawatir dengan koalisi perubahan, sehingga sampai tidak mau berkoalisi dengan koalisi perubahan,” ucap Herzaky melansir dari pernyataan tertulisnya, Jumat (17/02/23).
Herzaky kemudian menambahkan, karena yang biasanya alergi dan khawatir dengan perubahan itu adalah kelompok-kelompok pendukung status quo.
“Kedua, perubahan dan perbaikan yang diusung Demokrat di Koalisi Perubahan merupakan aspirasi dan harapan masyarakat yang disampaikan ketika Ketum PD, AHY dan para kader Demokrat menemui masyarakat di berbagai pelosok Indonesia,” kata dia.
“Rakyat menginginkan perubahan dan perbaikan dari kesusahan hidup yang mereka hadapi saat ini. Harga bahan-bahan kebutuhan pokok sehari-hari, terus melonjak. Belum lagi dengan harga listrik dan gas yang makin lama makin mencekik,” tambahnya.
“Cari kerja susah. Pengangguran terus meningkat. Makin banyak orang yang jatuh miskin dan belum bisa pulih kondisi ekonominya sejak pandemi,” jelasnya.
Ketiga, dia menambahkan dari sisi penegakan hukum, keadilan dan demokrasi pun dirasa semakin jauh dari harapan.
“Keras ke lawan politik, lembek ke kawan. Keras ke rakyat bawah, lembek ke samping. Dari kasus pembunuhan yang dilakukan Sambo dan kawan-kawan, sampai tragedi Kanjuruhan. Indeks Persepsi Korupsi yang terus anjlok,” katanya.
“Bahkan, kini indeksnya kembali ke 34. Tidak ada perkembangan dibandingkan penghujung era SBY. Padahal, SBY berhasil meningkatkan dari 20 di 2004 ke 34 di tahun 2014,” tambahnya.
Menurut dia, rakyat pun semakin takut berbicara berbeda dengan pemerintah di muka publik.
“Serangan para buzzer, doxing, peretasan akun, sampai ke penyebaran hoax dan fitnah bisa menerpa dan mengintimidasi mereka di ruang siber,” katanya.
“Begitu pula dengan intimidasi yang menerpa rakyat di lapangan. Kasus Wadas merupakan satu di antara banyak contoh,” tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Sabrina Mulia Rhamadanty
Editor: Sabrina Mulia Rhamadanty