Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Proyek Jalan Berbayar di Jakarta bakal 'Memalak' Warga, Pengamat Bedah Pengaruh Anies Baswedan Saat Jadi Gubernur

        Proyek Jalan Berbayar di Jakarta bakal 'Memalak' Warga, Pengamat Bedah Pengaruh Anies Baswedan Saat Jadi Gubernur Kredit Foto: Pemprov DKI Jakarta
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Managing Director Political Economy dan Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, menyoroti ERP (Electronic Road Pricing) atau jalan (dalam kota) berbayar.

        "Proyek ERP sudah dilirik sejak lama untuk 'memalak' warga, tetapi tertunda ketika Anies Baswedan naik jadi Gubernur? Sekarang aji mumpung, Penjabat Gubernur yang tidak ada mandat dari rakyat mau hidupkan kembali ERP lagi. Siapa investor dalang semua ini?" cuit Anthony Budiawan di linimasa Twitternya, dikutip FAJAR.CO.ID, Sabtu (18/2/2023).

        Baca Juga: Wacana Jalan Berbayar Jakarta Kian Disorot Tajam, Heru Budi Hartono: Rencana Implementasinya...

        Menurutnya, ERP lebih “kejam” dari jalan tol bebas hambatan berbayar. Dalam hal jalan tol, masyarakat mempunyai pilihan apakah akan menggunakan jalan tol atau tidak, karena selalu tersedia jalan alternatif non-tol. Tetapi, dalam hal ERP, masyarakat harus melewati jalan berbayar tersebut kalau tujuannya berada di dalam kawasan ERP.

        Pemerintah daerah (Pemda) Jakarta berencana menerapkan ERP dalam waktu dekat. Sebenarnya wacana ERP sudah didengar jauh sebelum ini. Apakah ini merupakan “proyek” yang tertunda?

        Menurut Pemda Jakarta, beber Anthony Budiawan, tujuan penerapan sistem ERP untuk mengatasi kemacetan Jakarta. Padahal Pemda Jakarta sudah menjalankan sistem ganjil-genap sejak 2016, untuk mengatasi kemacetan Jakarta tersebut. Lalu, kenapa sekarang mau diganti dengan sistem berbayar ERP?

        "Apa motif sebenarnya penerapan sistem ERP ini? Apakah hanya untuk pengadaan proyek semata? Untuk siapa?" tanya Anthony Budiawan.

        Warga Jakarta menuntut Pemda Jakarta menjelaskan secara transparan apa dasar penerapan sistem ERP.

        Pertama, Pemda Jakarta harus menjelaskan bagaimana hasil pelaksanaan sistem ganjil-genap selama ini, apakah sudah ada evaluasi dan kajiannya? Kalau sistem ganjil-genap ternyata gagal mengatasi kemacetan, sehingga mau diganti dengan sistem ERP, Pemda Jakarta harus menyatakan secara terbuka kepada publik bahwa sistem ganjil-genap, yang sudah menyusahkan warga Jakarta, sebagai kebijakan gagal.

        Menurutnya, selama tidak ada evaluasi dan pernyataan bahwa sistem ganjil-genap gagal, Pemda Jakarta tidak berhak menerapkan sistem berbayar ERP, karena dasar diberlakukannya kebijakan publik ini tidak jelas dan tidak kuat. Terkesan hanya untuk pengadaan proyek saja untuk “memeras” warga.

        Kedua, Pemda Jakarta harus menjelaskan siapa investor sistem ERP, apakah Pemda langsung atau ada investor pihak ketiga.

        Kalau ada investor pihak ketiga, Pemda Jakarta harus menjelaskan bagaimana cara pengadaan sistem ERP tersebut, apakah beli putus atau bagi hasil? Pemda Jakarta juga harus mengumumkan siapa investor pihak ketiga tersebut.

        Kalau bagi hasil, berapa untuk investor dan berapa untuk Pemda Jakarta? Kalau bagi hasil, pemberlakuan jam operasional ERP yang sangat panjang tersebut (jam 5:00-22:00) patut diduga untuk menguntungkan investor?

        Ketiga, sistem ERP hanya diterapkan di negara maju dengan sistem transportasi sangat baik dan pendapatan (per kapita) sangat besar.

        Sistem ERP sejauh ini hanya diterapkan di Singapore, Jerman, Swedia, Inggris, dengan pendapatan per kapita pada 2021 masing-masing 72.794 dolar AS, 51.204 dolar AS, 61.029 dolar AS dan 46.510 dolar AS. Sedangkan pendapatan per kapita Indonesia pada 2021 hanya 4.333 dolar AS.

        Artinya, Indonesia masuk negara berpendapatan menengah (antara bawah dan atas), sehingga tidak layak menerapkan sistem ERP. Selain juga, sistem transportasi publik Jakarta masih belum baik, masih buruk.

        "Jangan sampai ketidakmampuan pejabat Pemda Jakarta dalam mengatasi kemacetan Jakarta, dan kegagalan membangun transportasi publik, dibebankan kepada warga Jakarta dengan cara menerapkan sistem berbayar ERP. Kebijakan publik seperti ini, untuk menutupi kegagalan Pemda Jakarta, tidak boleh terjadi. Maka itu, warga Jakarta wajib menolak solusi mengatasi kemacetan dengan cara berbayar," jelasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: