Anies Baswedan Akui Label Politik Identitas Saat Pilkada 2017: Tapi Saya Berikan Perlakuan yang Sama ke Setiap Kelompok Agama!
Dalam wawancaranya bersama Jurnalis ABC Australia, Beverley O'Connor, eks Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mendapat pertanyaan soal bagaimana politik identitas bisa digunakan tanpa berdampak buruk.
Anies pun menjelaskan. Ia bilang, di setiap Pemilu, setiap kubu selalu melabeli kubu lainnya.
Namun sejak 2017, ia mengaku telah menyelesaikan masa jabatannya setelah dinyatakan menang. Sepanjang itu, tak juga mengkonfrontasi pelabelan dimaksud.
"Karena saya tidak ingin membalas pernyataan dengan pernyataan. Jadi yang saya lakukan adalah, saya bekerja lima tahun di Jakarta. Dan benar-benar memberikan kesempatan yang sama, memberi perlakuan yang sama pada kelompok agama apapun," paparnya.
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang telah diusung oleh tiga Partai Politik sebagai calon presiden ini kemudian mengatakan, menjawab politik identitas yang diidentikkan dengan dirinya, bisa dilihat dari rekam jejak. Bukan asumsi.
"Dan nyatanya, kami menciptakan rasa stabilitas. Rasa damai di Jakarta dan sekarang semuanya sudah selesai. Jadi saya mengundang semua orang untuk menilai saya bukan berdasarkan asumsi tapi berdasarkan jejak," pungkasnya.
Sebelumnya, Anies juga menjelaskan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) akan selalu ada keterbelahan.
Contohnya, jika kandidat berbeda jenis kelamin, satu laki-laki dan satu perempuan, maka isu gender akan mendominasi pembicaraan. Dan perbedaan ini kata dia, bisa menjadi faktor keterbelahan.
"Dan kemudian jika calon berasal dari kelompok etnis berbeda, maka faktor etnis dapat menjadi faktor keterbelahan," jelas dia.
Baca Juga: Ditundanya Perebutan Kursi Jokowi, Tanda Anies Baswedan Beneran Ditakuti oleh Oposisi
Jangankan Pemilu, hal sama terjadi saat referendum. Ia mencontohkan saat penentuan Britania Raya apakah akan keluar dari Uni Eropa atau tidak.
"Dan bahkan ketika Anda mengadakan referendum di mana tidak ada orang untuk dipilih. Tidak ada keterlibatan isu agama, tetap bisa jadi pembelahan. Misalnya Brexit, terjadi keterbelahan di sana. Tidak ada kandidat, tidak ada agama, tidak ada aliran kepercayaan dalam referendum tersebut," terangnya.
"Jadi sama saja jika ada calon Muslim dan calon Kristen, maka isu agama jadi perhitungan," lanjut eks Rektor Universitas Paramadina itu.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sabrina Mulia Rhamadanty